Sabtu, 19 September 2020

,

Usaha Dunia Menggoyahkan Angka Digdaya

Saat kita menjelaskan kepada Pemerintah lokal bahwa ada suatu kedai yang menjual bir beracun. Maka Pemerintah lokal akan menjawab "Ya, tapi sebelum kita menghancurkan kedai itu, coba kalian jelaskan secara spesifik apa yang harus dipakai sebagai gantinya" - Herman Daly

Walaupun sudah dipaparkan mengenai kekurangan PDB oleh banyak ahli terutama ekonom ekologi, namun tetap saja masih belum bisa menyadarkan para politisi dan ekonom untuk berhenti menggunakan indikator ini. Herman Daly mengatakan "Tak ada bir yang lebih sedap ketimbang bir beracun". Seakan-akan para politisi dan ekonom saat ini sedang dimabuk angka-angka pertumbuhan ekonomi dengan indikator PDB walaupun mereka tahu bahwa angka-angka ini memiliki banyak kekurangan.

Sejak 1970-an sudah banyak ekonom progresif, LSM, wadah pemikiran dan masyarakat sipil yang berusaha untuk menggulingkan PDB dan menggantinya dengan angka yang lebih baik dengan menambahkan ukuran-ukuran kesejahteraan ekonomi dan kemajuan yang nyata. Hal tersebut menjadi lumrah bagi lembaga-lembaga resmi terutama PBB dan Bank Dunia.

Upaya untuk menghasilkan indikator alternatif ini akhirnya berkembang menjadi debat publik internasional tentang skala dan arti kerusakan lingkungan serta kebijakan-kebijakan yang diperlukan untuk menanganinya. Pada tahun 1972 Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (Konferensi Stockholm) menjadi awal perjuangan politik lingkungan hidup sampai saat ini. Walaupun tekanan dari gerakan lingkungan hidup semakin menguat, namun lobi-lobi industri kepada Pemerintah Amerika Serikat tetaplah menjadi batu sandungan. 

Perjuangan tersebut akhirnya melahirkan Protokol Kyoto pada 2005 yang saat ini menjadi satu-satunya kesepakatan global mengenai perubahan iklim. Walaupun Pemerintah Amerika Serikat tak pernah secara resmi menandatangani kesepakatan ini.  Beberapa negara pun akhirnya mengundurkan diri dari kesepakatan Kyoto ini, yaitu Brazil, China, India, Afrika Selatan, dan Kanada yang menandai bahwa semakin gelapnya kesepakatan ini dapat terlaksana.

Usaha pertama kali untuk merevisi PDB dilakukan oleh William Nordhaus dan James Tobin pada 1971. Mereka mengembangkan indeks yang disebut Measure of Economic Welfare (MEW). Selanjutnya sepanjang 1970an sampai 1980 ekonom Robert Eisner berusaha untuk perlunya perombakan neraca nasional AS. Penemuannya yang paling terkenal adalah Total Incomes System of Accounts (TISA) yang memperluas dan merevisi ukuran pendapatan nasional secara resmi.  Selanjutnya Herman Daly dan teolog John Cobb untuk pertama kalinya berusaha mengintegrasikan data ekonomi makro, sosial, dan ekonomi pada 1980an yang dinamakan Index of Sustainable Economic Welfare (ISEW).

Selain peneliti dan beberapa wadah pemikiran yang berusaha untuk menggantikan atau memperbaiki PDB. Negara dan lembaga-lembaga negara juga berusaha untuk melakukan revisi maupun mengubahnya. Kerajaan Bhutan mengenalkan "Kebahagiaan Nasional Bruto" pada 1972. Jigme Singye Wangchuck menyatakan bahwa negaranya akan melepaskan diri dari kebijakan ekonomi yang disetir oleh PDB untuk mengadopsi pendekatan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Buddha.  University of Leicester pada 2006 dalam penelitiannya menemukan bahwa rakyat Bhutan termasuk orang-orang yang paling bahagia walaupun dengan angka PDB yang kecil. Kerajaan Bhutan menempati posisi kedelapan setelah negara-negara dengan angka PDB yang besar.

Bank Dunia juga berusaha memperkenalkan ukuran baru yaitu kesejahteraan sosial. Salah satu indikator yang diperkenalkan adalah simpanan bersih disesuaikan (adjusted net saving) atau genuine saving. Lalu salah satu lembaga di bawah PBB yaitu United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 1990 memperkenalkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk menolak hegemoni PDB. Presiden Prancis, Nicolas Sarkozy pada 2009 memerintahkan untuk membentuk komisi untuk mengetahui indikator alternatif untuk membuat kebijakan selain menggunakan PDB. Komisi ini mengingatkan agar tidak memadukan semua pengukuran ini ke dalam satu angka tunggal (PDB). Komisi ini mengajukan konsep dasbor. Dimana PDB adalah satu angka tunggal yang menjelaskan kita sudah seberapa cepat melaju. Namun pengemudi yang waras juga harus mengetahui sisah bahan bakar yang tersedia, seberapa jauh mobil masih sanggup berjalan dan sudah seberapa jauh jarak yang ditempuh.

Walaupun begitu, ada beberapa negara yang menolak untuk menerima usulan ukuran alternatif ini. Salah satunya adalah Amerika Serikat. Menurut OECD apabila produksi dan jasa rumah tangga dimasukan ke dalam estimasi resmi maka AS akan dilampaui oleh negara-negara Eropa. Hal tersebut akan mempengaruhi impian ekonomi AS (American Dream). Selanjutnya China, yang memperkenalkan PDB hijau pada 2002. Perhitungan tersebut melibatkan biaya kerusakan lingkungan akibat industri. Namun saat pertama klainya laporan perhitungan tersebut diterbitkan, banyak pemerintahan lokal terutama daerah industri yang menyumbang polusi udara yang tinggi menolak untuk memberikan datanya. Mereka takut hal itu menjadi boomerang yang akhirnya menjatuhkan derajat mereka sebagai pemimpin daerah tersebut.

Sejak 1953, telah dibuatkan pedoman penghitungan PDB untuk internasional yaitu United Nations System of National Accounts (UNSNA , kritikan dari para ekonom ekologi dan pakar lingkungan progresif terus berdatangan. Namun para pengkaji di PBB melakukan serangan balik dengan menolak kritikan tersebut karena para pakar lingkungan itu terlalu memaksakan "ukuran normatif".  Mereka berpendapat bahwa sumber daya alam itu tak pernah dibeli, maka penilaian apapun yang diajukan akan bersifat artifisial dan kontroversial. Maka lebih baik tidak dihitung sama sekali, daripada dihitung tapi melenceng. 

Pada KTT Rio+ 20 Juni 2012, lembaga-lembaga keuangan di dunia menandatangani "deklarasi modal alam" yang berusaha mengintegrasikan penghitungan lingkungan ke dalam operasi keuangan mereka. Namun Greenpeace organisasi lingkungan dunia menyatakan menyatakan kegiatan tersebut akan bersifat spekulatif dan tidak selamanya bijaksana.  Karena mengukur yang tidak dapat diukur akan menjadi absurd dan menghasilkan kesimpulan yang bias. 

Maka dari itu, sampai saat ini PDB masih menjadi salah satu indikator yang sehat walafiat yang digunakan oleh lembaga-lembaga pemerintahan untuk membuat kebijakan yang berkaitan dengan ekonomi. Memang benar, angka itu benar-benar digdaya!

Bersambung...

"Hambatan utama dalam melahirkan perubahan sejati adalah bahwa badan-badan statistik di seluruh dunia dijalankan oleh para ekonom dan ahli statistik, yang dimana mereka bukanlah orang-orang yang nyaman dengan manusia." - Alex Michalos

Sumber: Sejarah dan Realitas Politik di Balik Angka Pertumbuhan Ekonomi, oleh: Lorenzo Fioramonti

0 komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah, sebelum komentar itu dilarang