Kamis, 27 Agustus 2020

Sejarah Dunia Teh

Tea — The Origin Story. When one of us has an “accident in the… | by Anas  Baig | Medium

Teh, siapa yang tidak mengenal minuman satu ini. Dari masyarakat kelas ekonomi bawah hingga atas pastinya pernah meminum teh dalam hidupnya. Rasanya belum layak dijadikan manusia sejati apabila belum pernah meminum teh sekalipun dalam hidupnya. Namun, sejarah dari teh itu gimanasih?  

Sebenarnya, tidak ada satu orang pun yang mengetahui secara pasti awal mula teh digunakan sebagai minuman. Namun dari sebuah cerita legenda yang ada sejak 3.000 SM, ada seorang kaisar kerajaan China bernama Shen Nung, adalah orang pertama yang menikmati teh dalam bentuk minuman. Ia adalah salah satu Bapak Medis Tradisional China yang sedang melakukan pencarian ribuan tanaman untuk dijadikan obat herbal.

Saat itu, Shen Nung dan pasukannya sedang beristirahat di bawah pohon kecil. Saat sedang memanaskan air di dalam panci, ada daun jatuh dari pohon dan masuk ke dalam air tersebut. Shen Nung memutuskan untuk meminumnya dan langsung merasakan manfaat dari hasil rebusan air yang tercampur dengan daun jatuh tadi.

Namun bukti arkeologi menunjukan waktu yang lebih lama dibandingkan cerita legenda di atas, dari hasil penemuan arkeolog tersebut memprediksi bahwa teh telah dikonsumsi sejak awal zaman Paleolitikum (sekitar 5.000 tahun lalu). Pada zaman dahulu di China namanya adalah t’u, kai, ming dan cha yang kini kita kenal sebagai teh.

Pada masa itu teh menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat China, yang digunakan untuk menyembuhkan beberapa penyakit yaitu, penglihatan yang buruk, menambah stamina, rematik, dan masalah paru-paru sampai ginjal.

Karena kegunaannya, petani di China saat itu melihat bahwa teh adalah tanaman yang menguntungkan untuk ditanam. Di habitat aslinya, tanaman teh tumbuh diantara hutan dan tanah lapang. Dalam hal pembudidayaan, teh dipangkas menjadi seukuran semak. Pemangkasan tersebut memiliki tujuan agar tanaman dapat menyebar secara horizontal untuk menghasilkan banyak daun dan dijaga pada ketinggian yang tetap dapat dijangkau untuk memetik daunnya.

Pada saat Dinasti T’ang (618 – 907 M) seni memproses teh berevolusi dari menggunakan daun mentah menjadi memanggangnya menjadi seperti batu bata kering. Sehingga dapat dibawa untuk jarak jauh dan digunakan dalam waktu yang lama. Dengan proses yang baru tersebut, mengakibatkan perubah rasa yang secara dramatis. Setelah itu teh menjadi begitu popular, dari petani sampai kekaisaran meminum teh setiap hari.

Dinasti T’ang dikenal menghargai seni, puisi, perkebunan, dan musik. Karena kepopuleran teh semakin meningkat, banyak bermunculan tea house dan perkebenunan teh di sepanjang lingkungan kekaisaran. Para ahli teh yang mampu menemukan dan menyiapkan teh secara baik, akan sangat diminati.

Tea master yang paling terkenal saat itu adalah Lu Yu, atau dikenal “Father of tea” atau “Immortal of tea”. Karena ketertarikannya terhadap teh, ia telah menghasilkan tulisan dalam tiga volume dan sepuluh buku yang berjudul Cha Cing atau Teh Klasik yang diterbitkan pada 780 M. Buku tersebut membahas berbagai aspek dari teh, dari mulai cara membuat segelas teh sampai bagaimana cara menikmati teh. Buku tersebut juga membahas bagaimana cara membudidayakan tanaman teh dengan baik. Seiring dengan perkembangannya, para petani mulai banyak yang menanam tanaman teh dimanapun tanaman tersebut dapat berkembang. Meskipun Lu Yu membuat teh dari tanaman liar bukan dari hasil budidaya, sekarang ini sangat sulit menemukan teh yang berasal dari tanaman liar.

Selama Dinasti Song berkuasa yang dimulai pada tahun 927 M, kepopuleran teh semakin meningkat. Saat itu teh menjadi barang dagang utama kekaisaran. Di seluruh China bahkan sampai ke luar perbatasan, permintaan teh semakin meningkat. Hal ini membuat banyaknya kuda-kudang perang yang digunakan untuk mengangkut the. Selama satu tahun kekaisaran sung, 20.000 kuda perang digunakan untuk mengangkut 34 juta teh.

Sumber: A World History of Tea—from Legend to Healthy Obsession

Selasa, 25 Agustus 2020

Makna Puisi

Jika sunyi adalah bunyi yang diam
Jika gelap adalah cahaya yang tiada
Maka hidup seperti keduanya
Akan sunyi karena diamnya puisi
Akan gelap karena tiadanya puisi

Minggu, 23 Agustus 2020

Tilik, Film Pendek yang Satir


Beberapa hari kebelakang, ramai bersliweran di timeline Twitter gue film pendek yang dikeluarkan oleh Ravacana Films yang berjudul Tilik (menjenguk). Kebetulan ketika gue lagi buka youtube ada rekomendasi film ini di timeline gue, karena penasaran gue tontonlah film ini.

Film ini berkisah tentang rombongan ibu-ibu dari suatu desa yang hendak menjenguk ibu lurah ke Rumah Sakit di Kota. Beberapa hal yang kita tahu, di desa masih banyak warga yang menggunakan angkutan truk untuk pergi secara rombongan, berbeda dengan warga kota yang mungkin akan lebih memilih untuk menyewa bus. Maka dari itu tidak heran nama supir dalam film ini adalah Gotrek, mungkin layanan baru untuk mendampingi Gojek dan Gocar.

Bu Tejo dan Yu Ning adalah dua tokoh dengan karakter yang berbeda. Bu Tejo adalah pembawa kayu bakar yang suka melemparkan gosip, sedangkan Yu Ning adalah orang yang selalu berusaha berprasangka baik dalam menerima informasi selama itu belum dipastikan kebenarannya. Dian, seorang gadis desa selalu menjadi bahan gosip yang begitu digemari selama perjalanan.

Ditengah-tengah asyiknya bergosip, ada suatu momentum, yang dimana pak polisi pun jadi bahan keisengan para ibu-ibu ketika truk yang mereka tumpangi ditilang. Bayangkan saja, dua polisi lawan satu ibu-ibu saja polisi bisa salah dihadapan ibu-ibu. Apalagi satu polisi lawan ibu-ibu satu truk?

Pro dan Kontra

Di internet banyak terjadi pro dan kontra terkait film ini. Para pihak pro menyatakan bahwa film ini begitu epik menggambarkan realitas kehidupan sehari-hari yang terjadi di masyarakat kita. Bahkan film ini seperti bukan film, begitu naturalnya para ibu-ibu memerankan perannya masing-masing. 

Para pihak kontra menyatakan bahwa film ini tidak mendidik. Karena membenarkan seseorang untuk menyebarkan kabar negatif tanpa klarifikasi walaupun hal tersebut benar. Beberapa netizen juga mengganggap film ini terlalu menyerang gender wanita. Ya mungkin lagi kebetulan aja film ini lagi ngangkatnya tentang ibu-ibu, suatu saat mungkin akan muncul film yang isinya bapak-bapak lagi gosip di pos ronda sambil ngopi sama makan pisang goreng.

Yah, tapi perdebatan itu wajar-wajar saja. Bahkan dengan perdebatan, akan semakin menarik bagi para netizen dengan begitu mereka mampu mengambil nilai-nilai yang baik dari film ini.

Terima kasih Bu Tejo, yang sudah mewakili kami yang kadang suka julid ini terhadap teman, saudara, ataupun tetangga. Terima kasih Bu Yu Ning, karena telah mengajari kami untuk selalu berprasangka baik, walaupun terkadang hasilnya mengecewakan.

"Tapi Bu Tejo nggak takutkan sama ulernya Pak Tejo? hahaha" - Ibu-ibu di tengah sawah

Senin, 17 Agustus 2020

Refleksi Kemerdekaan

Foto Anak-anak Dari Seluruh Dunia Ini Sanggup Membuat Orang Dewasa ...

Merdeka bukan hanya sebuah kata
Merdeka adalah sebuah sikap
Merdeka dalam berpikir
Merdeka dalam bertindak

Tiga per empat abad sudah
Indonesia hadir sebagai bangsa
Di hadapan panggung dunia
Bersemboyankan Bhineka Tunggal Ika

Kaum muda dan tua
Tak jarang berselisih karena pandangan yang berbeda
Untuk satu tujuan yang sama
Menentukan bangsa ini mau dibawa kemana

Sebelum genap satu abad tiba
Ada sebuah pekerjaan rumah bagi generasi kita
Bunga penutup abad apa yang akan kita punya
Bunga untuk merenungi kekalahan
Atau bunga untuk merayakan kemenangan

Dirgahayu!
Dirgahayu Indonesiaku

Kamis, 06 Agustus 2020

,

Lahirnya Angka yang Digdaya - PDB


Penemuan PDB merupakan
"nuklir" bagi ilmu ekonomi - Alan Atkisson

Produk Domestik Bruto (PDB) yang awalnya disebut Produk Nasional Bruto (PNB), diciptakan oleh ekonom Amerika-Rusia Simon Kuznets dan kelompok kecil peneliti muda pada krisis ekonomi besar yang terjadi pada 1930 yang kita kenal sebagai Depresi Besar (Great Depression). Kuznets dan kelompoknya berusaha menciptakan sistem neraca nasional yang bertujuan untuk mengeluarkan Amerika dari Depresi Besar 1930.

Jauh sebelum Kuznets dan Kelompoknya menciptakan PDB, William Petty seorang dokter tentara inggris, diminta menjalankan sebuah survei sistematis mengenai kesejahteraan negara pada waktu itu Irlandia tahun 1652. Down Survey, penelitian tersebut dinamakan, berhasil menyajikan suatu pengukuran yang mengukur kekayaan sebuah negeri melalui analisis ekonomi yang sistematis.

Kuznets memodernisasi sistem pengukuran kekayaan negara. Pemikiran sederhana Kuznets mengenai PDB adalah "Satukanlah produksi perorangan, perusahaan dan pemerintah dalam satu angka tunggal". Memasuki perang dunia kedua pada 1940an, Pemerintah Amerika ingin memanfaatkan neraca nasional untuk mendukung perjuangan Amerika dalam Perang Dunia II. 

Pasca perang, Amerika dan sekutu keluar sebagai pemenang. Amerika memiliki struktur modal yang kuat, hal ini dipengaruhi oleh perhitungan PNB yang menjaga tingkat konsumsi sipil dalam negeri, tanpa adanya pengalihan penuh industri ke sektor militer. 

Pada 1950an PNB menjadi begitu dominan untuk mengukur kinerja ekonomi suatu negara. PBB pada 1953 mengeluarkan standar perhitungan yang terpengaruh dari metodologi PNB Kuznets. Karena keberhasilan PNB mengeluarkan Amerika dari Depresi Besar 1930 dan menjadi mesin perang Perang Dunia II, banyak elite politik dan pembuat opini saat itu tidak menyadari kelemahan angka-angka ini.

Setelah Perang Dunia II usai, muncul dua raksasa ekonomi dunia, yaitu Uni Soviet dan Amerika Serikat. Perang dingin berlangsung, Uni Soviet sebagai pimpinan blok sosialis menciptakan perhitungan tandingan untuk menandingi PNB, yaitu Produk Sosial Bruto dan Produk Material Neto.

1980an, Gorbachev selaku Presiden Uni Soviet kala itu menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi selama 1920 - 1980an yang dianggap resmi oleh Pemerintah Uni Soviet tumbuh sebesar 8.500 persen. Namun yang sebenarnya terjadi hanya tumbuh sebesar 400 - 500 persen saja. Maka dari itu, Gomkostat selaku badan statistik nasional Uni Soviet meminta bantuan kepada ahli statistik Amerika untuk membantu mereka melakukan transisi ke perhitungan PNB.

Dengan masuknya Uni Soviet ke dalam sistem PNB, angka itupun menjadi ukuran keberhasilan ekonomi yang diterima secara global. Pada 1991 PNB diubah menjadi PDB, Dari "Nasional", produk bruto menjadi "Domestik".

Seperti yang kita tahu, angka PNB merujuk pada seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh pendudukan suatu negara tanpa memedulikan barang dan jasa tersebut dihasilkan di dalam atau di luar perbatasan negara tersebut. Sedangkan PDB merujuk pada seluruh barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu negara tanpa memandang barang dan jasa tersebut dihasilkan oleh warga negara manapun.

Hal tersebut meningkatkan angka PDB yang di interpretasikan sebagai lonjakan ekonomi di negara berkembang. Namun kenyataannya angka-angka itu menjadi semu, dikarenakan peningkatan tersebut dipengaruhi oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Hal ini menyembunyikan fakta mendasar "Negara-negara maju sedang mencuri sumber daya milik negara berkembang dan menyebutnya sebagai keuntungan bagi negara berkembang".

Dengan menerapkan kebijakan untuk mempertahankan PDB, sebuah negara tidak hanya akan mendapatkan manfaat ekonomi, tetapi status geopolitis juga ikut meningkat. Hal tersebut memaksakan negara-negara miskin ikut menerapkan perhitungan PDB, yang menjerumuskan negara tersebut ke jurang penyesuaian struktural dan reformasi makroekonomi, yang secara langsung didikte oleh IMF dan Bank Dunia.

Terjadilah sebuah paradoks "PDB dipaksakan juga ke negara-negara miskin, padahal Kuznets sendiri menyatakan bahwa pendekatan PDB jangan pernah diterapkan pada negara-negara yang amat bergantung pada struktur ekonomi informal"

Tak ada PDB, maka tak ada pesta...

Bersambung....

"Kesejahteraan tidak dapat diukur dengan uang atau diperdagangkan di pasar. Ini tentang keindahan lingkungan sekitar kita, kualitas kebudayaan kita, dan terutama, kekuatan hubungan kita. Memperbaiki rasa sejahtera masyarakat kita, saya yakin, merupakan tantangan utama politik di zaman kita" David Cameron (Konferensi Eropa Google Zeitgeist)

Sumber: Sejarah dan Realitas Politik di Balik Angka Pertumbuhan Ekonomi, oleh: Lorenzo Fioramonti