Jumat, 07 September 2018

Anak Semua Bangsa, Bagian dari Tetralogi Pulau Buru

Anak Semua Bangsa adalah bagian dari karya Pram dalam Tetralogi Pulau Buru. Cerita di dalam buku ini adalah lanjutan dari Bumi Manusia. Keempat buku Pram dalam Tetralogi Pulau Buru akan membawa imajinasi para pembacanya kedalam suasana kolonial hingga akhirnya bagaimana Kebangkitan Nasional muncul di negeri ini.

Pada Bumi Manusia, pembaca akan diperkenalkan siapa itu tokoh Minke, Annelies, Nyai Ontosoroh, Jean Marais, dll. Pada bagian ini juga lebih fokus bagaimana proses perjalanan tokoh Minke dari seorang priyayi dan juga siswa H.B.S yang keturunan Pribumi namun berpendidikan Eropa, bertemu dengan Annelies hingga akhirnya menikah dan dipisahkan karena ketok palu pengadilan putih. Bertemu Nyai Ontosoroh yang semakin menguatkan keresehannya terhadap kondisi pribumi yang begitu terpuruk akibat dari hegemoni kolonial.

Pada bagian awal buku akan disajikan cerita Nyai Ontosoroh mengirimkan utusan bernama Panji Darman atau Jan Dapperste untuk memantau anaknya yaitu Annelies selama perjalanannya dari Jawa menuju Nederland yang berakhir tragis karena kematian Annelies. Nyai Ontosoroh sangat terpukul dan mengeluarkan sumpah serapah kepada keluarga Mellema yang telah membunuhnya secara perlahan, hingga Nyai berbicara pada Minke "Semua yang kolonial itu Iblis!".

Lalu kehadiran tokoh Khouw Ah Soe, pemuda cina dengan semangatnya mengembara keliling dunia demi kepentingan negaranya sendiri namun berakhir dengan kematian pula karena mati diperantauan dibunuh oleh bangsanya sendiri secara tragis.

Dibagian selanjutnya, pada suatu saat Jeans Marais memberikan nasihat kepada Minke untuk menulis dalam bahasa Melayu, bahasa bangsanya sendiri. Namun Minke bersikukuh untuk tetap menulis dalam Belanda. Terjadi perdebatan diantara keduanya hingga akhirnya Kommer semakin menguatkan perkataan Jeans Marais bahwa, untuk membangkitkan bangsa sendiri maka menulislah dengan bahasa mereka, sampaikan dengan bahasa yang mereka pahami. Bahkan perkataan yang paling menyakitkan bagi Minke dari Kommer adalah "Aku lebih mengenal bangsamu, daripada kau!".

Di Tulangan, Minke bertemu dengan petani yang dengan keras menolak tanahnya disewakan kepada Belanda. Ia adalah Trunodongso. Seorang petani yang berbeda dari petani lainnya, yang akhirnya dijadikan Tokoh oleh Minke dalam tulisannya untuk diberitakan dalam surat kabar. Alasannya pula untuk membuktikan kepada Kommer bahwa dirinya akan jauh lebih mengenal bangsanya sendiri.

Nyai Ontosoroh diingatkan lagi pada masa suramnya ketika mengetahui keponakannya dijual kepada Tuan Besar Gula yaitu Plikemboh. Keponakan Nyai yaitu Surati dijual oleh bapaknya sendiri yaitu Sastrokassier. Bagaimana tergambar pada zaman itu harta, keluarga, dan apapun boleh lenyap, tetapi jabatan harus tetap walau apapun itu yang dikorbankan. 

Setelah melewati segala yang telah dialami akhirnya Minke tersadar bahwa ia adalah bayi semua bangsa dari segala jaman yang harus menulis dalam bahasa bangsanya (Melayu) dan berbuat untuk manusia-manusia bangsanya. 

"Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari." - Nyai Ontosoroh kepada Minke

Selasa, 04 September 2018

Aku, Manusia Kelelawar


Diantara angka dua dan tiga
Mataku tetap dalam jaga
Ah, sulit sekali kau ku-pejam!

Melampaui kehidupan kelelawar
Menerjang gelap, tanpa menengok fajar.
Sudah tentu gulita menjadi kawan.

Tolong! Tolong! Tolong!
Kembalikan kemanusiaan ku!
Aku lelah menjadi manusia kelelawar.

Minggu, 02 September 2018

Media Mainstream, Titik Balik itu Ada!


Pada zaman Kakek & Nenek serta orang tua kita dahulu surat kabar adalah menu sarapan bagi mereka untuk mengetahui peristiwa apa yang telah terjadi pada kemarin hari dalam lingkup lokal maupun Internasional. Belum ada internet ataupun Smartphone seperti sekarang ini. Kabar-kabar hoax tidak menyebar luas secara cepat dalam hitungan menit.

Awal tahun 2000an internet hadir menawarkan kemudahan informasi bagi penggunanya, pertukaran informasi yang berbatas jarak dapat dipatahkannya. Surat-surat kabar pun tak mau ketinggalan zaman, mereka menghadirkan portal web untuk masyarakat meng-aksesnya. Dengan modal internet dan komputer, kita dapat dengan cepat mengetahui kabar perkembangan kabar lokal maupun internasional.

Tahun 2000 ke atas, muncul berbagai berbagai platform yang lebih menarik. Diawali oleh Friendster kemudian Facebook dan juga Twitter. Facebook dengan fitur chatting, Twitter dengan konsep mikro-blog yang dapat melakukan aktivitas Tweet 140 karakter yang menjadi ciri khasnya.

Tentunya perkembangan media sosial itu menjadi ladang bagi developer lainnya untuk mengembangkan platform yang lebih baik sehingga berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik bagi penggunanya. Kehadiran Smartphone juga kembali menyegarkan, karena platform itu tidak hanya ada di Komputer, mereka juga ada dalam genggaman smartphone.

Kehadiran media sosial tersebut menjadikan media surat-surat kabar itu menjadi tidak menarik. Bagaimana tidak, dalam tiap genggaman, semua orang dapat membagikan peristiwa disekitarnya dengan mudah, bahkan ke up-to-date-an media mainstream itu dikalahkan oleh media sosial.

Akibatpun timbul, netizen dengan mudahnya percaya kabar-kabar hoax yang ada di media sosial itu. Dengan saling share kabar-kabar itu tak dapat dihalangi persebarannya, dengan mudahnya meracuni otak orang dari satu ke yang lainnya.

Gejolak dalam lingkup masyarakat pun pecah tak dapat dihindarkan. Masyarakat awam menelan mentah-mentah informasi itu. Dari sini peran media mainstream sangat dibutuhkan dalam memberikan berita yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Namun faktanya, banyak netizen kita pada saat ini lebih tertarik pada media sosial daripada media mainstream. Menjadi tantangan bagi media mainstream untuk menghadirkan berita-berita yang lebih berkualitas, yang isi-nya tidak politik melulu. Karena saya rasa netizen pada saat ini sudah mulai jenuh dengan berita-berita politik dan hoax yang mulai menjamur.
Tentunya dengan konten-konten yang lebih variatif serta edukatif media mainstream itu akan menemui titik baliknya kembali untuk menghadirkan kembali berita-berita yang dapat memberikan wawasan kepada para pembacanya. Dan untuk kita sebagai netizen harus dapat memilah informasi yang berlalu-lalang dalam smartphone kita.
 
Semoga kita tetap menjadi netizen yang bijak ya!
"Jari-mu adalah Harimau-mu"