Jumat, 31 Juli 2020

,

Belajar dari Keledai


Suatu hari ada seorang ayah dan anak yang hendak menjual keledainya ke pasar. Setelah semua urusan siap, mereka berangkat dengan menuntun keledainya.

Di tikungan pertama, seseorang mengatakan "kalian bodoh sekali, mengapa kalian tak naiki saja keledai itu". Setelah mendengarkan kata orang tersebut, sang ayah menaiki keledainya dan meminta anaknya untuk menuntun keledai tersebut.

Di tikungan kedua, seseorang berkata "Ayah yang jahat, membiarkan anaknya berjalan, sedangkan dirinya menunggangi keledai". Mendengar perkataan itu, sang ayah meminta anaknya menaiki keledai dan dirinya yang menuntun keledai.

Di tikungan ketiga, seseorang berkata "Anak durhaka, membiarkan ayahnya berjalan, sedangkan dirinya menunggani keledai". Mendengar perkataan itu, mereka berdua menaiki keledai secara bersamaan.

Di tikungan keempat, seseorang berkata "Apa kalian tidak merasa kasihan dengan keledai itu? dia bukan kuda yang mampu membawa beban berat". Mendegar perkataan itu, sang ayah berinisiatif untuk menggendong keledai itu menggunakan dua batang kayu.

Di tikungan kelima, seseorang kembali berkata "Bodoh sekali kalian, kenapa tidak kalian naiki saja keledai itu?".

Kesimpulan dari cerita di atas, setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melihat sebuah fenomena, yang dipengaruhi pengalaman dan pola pikirnya.

Mendengarkan pendapat semua orang hanya akan menimbulkan kebingungan yang paradoks. Benar dan salah itu relatif, tidak mutlak.

Dalam dunia kepakaran sekalipun, benar dan salah tak jarang diperdebatkan. Karena setiap pakar memiliki pondasi pemikirannya sendiri yang terkadang berbeda dengan pakar yang lain, apalagi kita yang hanya orang biasa.

Selama keputusan yang diambil kita yakini benar, maka lakukan. Selama tidak merugikan orang lain. Orang lain hanya memberikan pendapat, sedangkan yang berhak memutuskan adalah diri kita sendiri.

Sumber: Belajar dari ilmu keledai - Helmi Yahya (Youtube)

Kamis, 30 Juli 2020

Angka Paling Digdaya Sedunia - PDB

What's Your "Why" Story? - Mimi Donaldson

"Kita mencuri masa depan, menjualnya di masa sekarang dan menyebutnya PDB" - Paul Hawken

Setiap kuartal dalam tahunan, kita sering melihat di media berita pengumuman tingkat ekonomi Indonesia yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), angka tersebut adalah PDB atau Produk Domestik Bruto.

Apa itu Produk Domestik Bruto (PDB)? PDB adalah nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. Nilai tersebut diambil dari konsumsi perseorangan (consumption), perusahaan (investation), negara (government), ditambah dengan nilai ekspor (x) dan dikurangi nilai impor (m), dengan formula PDB = C + I + G + (X-M)

Negara - negara di dunia pun, dikelompokan berdasarkan PDBnya. Mungkin sering kita dengar tentang G-8 ataupun G-20, yaitu kelompok negara - negara di peringkat 8 atau 20 yang dihitung berdasarkan angka PDB negara tersebut.

Bagi logika umum sepanjang abad 20, ketika angka PDB di suatu negara naik, maka dapat dikatakan negara tersebut mengalami peningkatan ekonomi, yang berarti menandakan ke arah hal yang positif. Singkatnya PDB menjadi angka acuan, makmur atau tidaknya suatu negara.

PDB menjadi angka yang begitu kramat, terkhusus bagi para pengambil kebijakan ataupun analis ekonomi di suatu negara. Pemerintah, entah itu di negara maju ataupun berkembang, selalu berusaha untuk meningkatkan angka PDB negaranya ditiap kuartalan ataupun tahunan.

Bahkan, sebagian besar negara yang sedang berjuang untuk keluar dari resesi ekonomi, merancang kebijakan mengikuti diktat pertumbuhan PDB. Sekalipun suatu negara berusaha untuk mengurangi dampak perubahan iklim akibat dari gas rumah kaca yang sedang terjadi, ditentang oleh banyak negara dikarenakan dapat memberikan efek buruk bagi pertumbuhan PDB global.

Ketika PDB hanya menghitung barang dan jasa yang dihasilkan tanpa mengindahkan biaya untuk lingkungan ataupun sosial, apakah layak PDB dijadikan angka untuk mengukur kemakmuran suatu negara? bahkan kemakmuran masyarakat global? Apakah kualitas hidup kita meningkat ketika PDB tumbuh sebesar 3 sampai 5 persen? 

Bersambung...

Sumber: Sejarah dan Realitas Politik di Balik Angka Pertumbuhan Ekonomi, oleh: Lorenzo Fioramonti 

Sabtu, 04 Juli 2020

Who Moved My Cheese?

1*1bmPquZISCSs0tiLdZMgxw.jpeg (512×288)

Kisah Who Moved My Cheese? diciptakan oleh Spencer Johnson. Cerita ini diciptakan untuk membantu dirinya mengatasi perubahan yang terjadi pada hidupnya. Hal ini menyadarkan dirinya untuk bersikap serius dalam merespon perubahan yang terjadi disekitarnya agar mampu fleksibel mengikuti perubahan, bukan kaku menolak perubahan.

Cerita ini menggambarkan tentang labirin yang seperti kehidupan manusia dan tokoh Hem dan Haw dua orang kurcaci yang kompleks dengan akalnya dan Sniff dan Scury dua ekor tikus yang bertindak sederhana. Serta keju yang menggambarkan pekerjaan, organisasi, suatu hubungan, dll.

Kisah berawal dari sebuah labirin yang dihuni oleh Sniff dan Scury, dua ekor tikus yang dimana Sniff memiliki sifat mampu mengendus dengan baik dan Scury yang segera bergegas untuk bertindak. Lalu ada Hem dan Haw, dua orang kurcaci yang dimana Hem memiliki sifat kaku, menolak adanya perubahan dan Haw seorang yang mencari aman demi keberlangsungan hidupnya.

Keempat tokoh ini selalu mencari keju di lorong-lorong labirin yang gelap dan tak menentu. Selalu menggunakan metode trial and error dalam proses pencariannya. Suatu hari keempat tokoh ini sama-sama menemukan chees station c yang berisikan ladang keju besar. Selama berhari-hari mereka selalu kembali ke station tersebut. Tanpa disadari, persediaan keju semakin menipis. Sniff dan Scury menyadari hal tersebut, lalu segera keluar dari station itu dan kembali menyusuri labirin untuk menemukan ladang keju yang baru.

Sedangkan Hem dan Haw kaget ketika melihat persediaan keju di cheese station c yang telah habis. Mereka berdua kalang kabut dan mempertanyakan mengapa keju itu habis dan selalu kembali ke station itu dihari-hari berikutnya.

Sniff dan Scury berhasil menemukan ladang keju yang baru, sedangkan Hem dan Haw tetap meratapi nasib di station c. Sampai akhirnya Haw menyadari bahwa ia tidak bisa seperti itu terus, ia harus move on dan kembali menyusuri labirin yang tak menentu itu untuk kembali menemukan ladang keju agar tetap hidup.

Selama perjalanan menyusuri labirin, Haw selalu menuliskan motivasinya di dinding, dengan maksud apabila Hem berubah pikiran untuk keluar dari station c mampu menemukan jalan yang telah dilalui Haw. Akhirnya Haw menemukan ladang keju baru yang disana telah ada Sniff dan Scury.

Makna dari Cerita
Sniff dan Scury adalah dua ekor tikus yang bertindak sederhana untuk selalu menemukan keju. Sedangkan Hem dan Haw dua orang yang hanya berfokus pada masalah, bukan pada solusi ketika persediaan keju di cheese station c habis.

Walaupun pada akhirnya Haw menyadari hal tersebut dan akhirnya kembali untuk menyusuri labirin untuk menemukan keju. Bagi Haw, terlambat tidak terlalu buruk daripada tidak berubah sama sekali. Haw juga mengajari kita, bahwa menertawai kebodohan kita adalah jalan awal untuk melangkah maju.

Sedangkan Hem, seperti gambaran kebanyakan kita. Yang terkadang kaku, menolak perubahan yang terjadi di sekitar kita dan menyalahkan orang lain atas kehilangan/kegagalan yang kita rasakan. Takut untuk keluar dari zona nyaman.

Buku ini sangat layak bagi gue untuk dibaca dari semua kalangan dari anak-anak hingga dewasa, karena mengajari tentang bagaimana merubah cara pandang dalam melihat suatu perubahan yang terjadi. Apalagi di era globalisasi saat ini yang begitu masif, perubahan hampir terjadi setiap detik!

So, lo tertarik buat baca buku ini? Mari sama-sama temukan keju!

"Apa yang akan anda lakukan, jika anda tidak memiliki rasa takut? - Haw"

Kamis, 02 Juli 2020

Selusin Faktor Krisis Individu oleh Jared Diamond


Jared Diamond adalah profesor geografi di University of California, Los Angeles (UCLA). Beliau pemenang Pulitzer Price atas karya bukunya, yaitu Guns, Germs, and Steel (Bedil, Kuman dan Baja). Selain itu beliau juga menulis buku Upheavel: Bagaimana Negara Mengatasi Krisis dan Perubahan.

Dalam bukunya yang gue sebut terakhir itu, beliau membahas tentang tujuh negara (Amerika, Jerman, Finlandia, Jepang, Indonesia, Chile dan Australia) yang mampu menghadapi krisis masa lalunya. Sebelum menjelaskan bagaimana ketujuh negara itu bergejolak menghadapi krisis. Jared membawa kita pada bab pertamanya dengan mengenalkan krisis individu.

Menurut beliau, krisis individu dan krisis nasional memiliki selusin faktor yang hampir sama. Perbedaannya adalah krisis individu tidak memerlukan kesepakatan bersama yang dimana krisis negara membutuhkan hal tersebut.

Krisis dan tekanan untuk perubahan disebabkan karena faktor eksternal maupun internal. Sebagai contoh, faktor eksternal bagi krisis individu adalah seperti seseorang yang ditinggalkan oleh pasangannya atau dipecat dari pekerjaanya. Sedangkan faktor internalnya adalah seseorang yang tiba-tiba jatuh sakit.

Jared menekankan kata "selektif" agar seseorang individu berhasil mengatasi tekanan internal maupun eksternal. Maksud selektif disini adalah mencari tahu bagian mana dari identitasnya yang harus dibuang atau tidak berguna lagi dan bagian mana yang harus tetap dipertahankan.

Lalu, bagaimana kita mendefinisikan krisis? Asal-usul kata krisis adalah "crisis" yang diturunkan dari kata benda "krisis" dan kata kerja "krino" dalam bahasa Yunani yang memiliki arti: pemisahan, penentuan, pembedaan dan titik balik. Simpelnya ialah proses dimana merasakan diri kita menghadapi tantangan penting yang tidak dapat dilalui dengan metode yang biasa saja. Kita dipaksakan untuk menggunakan metode yang baru untuk menghadapi tantangan tersebut.

Terapi krisis yang telah dijalankan oleh banyak psikolog mengidentifikasi selusin faktor yang membuat seseorang mampu menghadapi krisis tersebut. Berikut beberapa faktor krisis yang dikemukan Jared dalam bukunya Upheavel: Bagaimana Negara Menghadapi Krisis dan Perubahan.

1. Pengakuan Seseorang Berada Dalam Krisis
Untuk menyelesaikan suatu masalah, maka harus ada pengakuan dalam diri bahwa dirinya sedang berada dalam masa krisis. Terkadang beberapa orang sulit menyadari bahwa dirinya dalam kondisi krisis bahkan butuh waktu yang cukup lama. Sehingga pengakuan seseorang berada dalam krisis adalah suatu langkah awal, yang tanpa itu tak akan ada kemajuan untuk menyelesaikan masalah.

2. Penerimaan Tanggung Jawab Pribadi
Setelah mengakui diri berada dalam kondisi krisis, seorang individu harus menerima tanggung jawab untuk menyelesaikan permasalahannya. Bukan malah mengkambingkan orang lain atas masalah yang menimpa kita. "Ya, aku punya masalah, orang lain harus bertanggung jawab atas masalahku". Alangkah lebih baiknya ubahlah mindset dalam kepala menjadi "Ya saya punya masalah, orang lain mungkin dapat membantu saya dalam menyelesaikan masalah ini. Tapi saya adalah satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas masalah saya sendiri, bukan orang lain".

3. Membangun Pagar
Sudah mengakui bahwa diri berada dalam kondisis krisis dan sudah menerima tanggung jawab pribadi untuk menyelesaikannya, Selanjutnya pertanyakan dalam diri kita "Apa nilai-nilai dari dalam diri saya yang harus tetap dipertahankan? Apa nilai-nilai dalam diri saya yang harus diubah?". Dari pertanyaannya itulah kita telah membangun pagar untuk fokus merubah nilai-nilai yang harus diubah dalam diri kita.

4. Bantuan dari Orang Lain
"Tapi saya satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas masalah saya sendiri, bukan orang lain" bukan berarti kita tidak membutuhkan bantuan orang lain. Jangan bohong pada diri sendiri bahwa kita sebenarnya membutuhkan orang lain untuk membantu kita menyelesaikan masalah, yang salah adalah kita menganggap orang lain adalah pemeran utama dalam drama penyelesaian masalah kita.

5. Orang Lain Sebagai Model
Krisis yang sedang kita hadapi, pastinya pernah dihadapi oleh orang lain. Maka dari itu pelajarilah bagaimana orang tersebut menyelesaikan krisis yang sedang kita hadapi saat ini. Namun, tidak menjiplak seutuhnya, hal tersebut akan dijelaskan pada faktor yang lain.

6. Kekuatan Ego
Kekuatan ego adalah rasa percaya diri yang lebih luas, yaitu ketika kita merasakan tentang diri sendiri, memiliki tujuan dan menerima diri sendiri apa adanya. Kita mampu secara mandiri dan bangga untuk menentukan jalan hidup kita sendiri, tidak peduli dengan persetujuan orang lain untuk keberlangsungan hidup kita. Dengan kekuatan ego tersebut akan dengan mudah mentolerir rasa frustasi dan menemukan solusi-solusi baru untuk mengatasi krisis kita.

7. Penilaian Diri yang Jujur
Kekuatan ego bukan menjadikan kita egosentris yang merasa kita adalah segala-galanya. Kita harus mampu menilai diri kita sendiri secara jujur. Seperti pepatah suku Baduy "Panjang jangan dipotong, pendek jangan disambung". Kalau perlu tertawai kebodohan kita dan lekas memperbaikinya. 

8. Pengalaman Krisis Sebelumnya
Tentunya kita tidak hanya sekali melalui krisis dalam kehidupan kita. Kesuksesan kita dalam mengatasi krisis di masa lalu akan membawa kita lebih percaya diri untuk menghadapi krisis yang kita hadapi saat ini. Kalau kata Tan Malaka "Terbentur, terbentur, terbentuk!". Dengan pengalaman krisis sebelumnya kita akan menganggap bahwa badai akan berlalu dan kita akan baik-baik saja.

9. Sabar
Mungkin faktor ini adalah hal yang paling sulit kita lakukan. Memang kesabaran tidak terbentuk semalam jadi, ia adalah hasil dari proses yang panjang. Untuk menghadapi krisis kita harus mampu menghadapi ketidakpastian, ambiguitas dan kegagalan pada usaha pertama dalam menangani krisis.

Seperti dalam kutipan Al-Quran "Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika kaum tersebut tidak berusaha merubahnya" (mohon koreksi kalau salah). Usaha pertama gagal, kedua gagal lagi, ketiga gagal lagi, coba terus sampai kita menemukan metode yang paling tepat. Ingat cerita Thomas Alfa Edison dalam proses penemuan lampunya? Mungkin bisa jadi contoh.

10. Fleksibilitas
Fleksibilitas adalah lawan dari kekakuan, Dimana fleksibilitas kita menganggap tidak hanya satu cara untuk menyelesaikan satu masalah. Sedangkan kekakuan menganggap bahwa hanya ada satu cara untuk menyelesaikan masalah. Apalagi di era yang semakin modern saat ini, teknologi dan budaya berkembang cepat. Maka dari itu diperlukan kepribadian yang fleksibel untuk mengatasi krisis diri.

11. Nilai Inti
Faktor ini menekankan untuk kita mengetahui nilai inti apa yang membentuk identitas kita, entah itu agama, budaya ataupun komitmen. Pada faktor 5, kita telah mengadopsi model orang lain untuk mengatasi krisis kita. Namun kita harus sadar, bagian mana yang harus kita ikuti dan bagian mana yang harus tetap kita pertahankan sebagai pembentuk identitas kita.

12. Bebas dari Kendala
Faktor yang terakhir kebebasan kita untuk memilih metode mana yang harus kita lakukan untuk mengatasi krisis kita dan tidak terikat tanggung jawab terhadap siapapun atas pilihan kita. Dengan begitu kita akan dengan mudah menemukan solusi dalam menangani krisis diri ini.

Itulah selusin faktor yang dikemukakan oleh Jared Diamond dalam bukunya yang gue baca. Menurut gue rasanya mustahil kita bisa menggunakan seluruh faktor yang telah dipaparkan dalam menangani krisis kita. Semoga apa yang gue tulis bisa jadi salah satu rujukan dalam menangani krisis diri yang sedang kita hadapi, apalagi saat ini lagi ramai-ramainnya membahas Quarter Life Crisis.

Jika adalah salah kata-kata atau maksud yang tidak sesuai dari bukunya, dengan senang hati gue persilahkan kalian untuk mengkoreksinya. Sebagai penutup, izinkan gue mengutip kutipan salah satu filsuf barat dalam buku ini:

"Apa yang tidak membunuh kita, membuat kita lebih kuat" - Nietzsche