Selasa, 29 September 2020

Pilkada Kok Lanjut?

Harian Kompas, Minggu 27 September 2020
Beberapa hari kebelakang, suasana pagi di rumahku sejuk sekali. Tanda musim hujan akan segera tiba, “winter is coming..”. Makin nikmat rasanya kalau udara sejuk seperti ini ditambah dengan sarapan nasi uduk dan ditemani segelas kopi, kepul-kepul asap tembakau ikut menyibuki. wussshhh~ Hidangan keramat.

Saat menikmati hidangan keramat ini ditemani layar televisi. Acara pagi seperti biasa menampilkan beberapa pilihan, ada kartun, ceramah agama, dan warta berita. Ohiya lupa ketinggalan, lagu Indonesia Raya akan selalu ada untuk mengawali pagi anda. Tenang sinetron azab ataupun cinta-cintaan belum ada jam segini.

Pagi itu, saya tertarik untuk menyaksikan warta berita. Beritanya menakutkan, beberapa hari terakhir angka penambahan kasus positif korona sering pecah rekor. Ini membanggakan sekali. Secara pejabat-pejabat kita kan sukanya yang positif terus, termasuk terhadap perekonomian.

Bencana alam juga menghiasi warta berita. Sukabumi banjir bandang, pabrik air mineral aja sampe kena, alam emang gak memihak siapapun ya gaes. Dan lagi Kalian tau Kalimantan? Pulau yang hutannya lebat itu, banjir loh.. hmm kok bisa ya? Sepertinya masyarakat sana yang banyak berkhayal selama ini. Wong disana yang banyak perusahaan tambang sama kelapa sawit kok, bukan hutan.

Bencana kesehatan sudah, bencana alam sudah, presenter kembali lagi mengabarkan kontroversi Pilkada 2020. Presiden kita, Pak Jokowi melalui juru bicaranya Pak Fadjroel Rachman, blio mengatakan bahwa Pilkada 2020 akan tetap dilaksanakan walaupun pandemi korona belumlah usai. Alasannya demi menjaga hak konstitusi, hak dipilih dan memilih. Katanya lagi, Pemerintah nggak bisa memastikan kapan pandemi ini berakhir. Netizen pun bercuap “Siapa suruh dari awal anggep remeh korona?!”. Netizen yang budiman sini saya kasih tau, Pemerintah bukan anggep remeh, tapi berprasangka baik.

Lalu apabila Pilkada ditunda sementara, akan mengakibatkan kegaduhan di tengah masyarakat. Karena ketika masa jabatan Kepala Daerah habis, maka harus dilanjutkan oleh Pelaksana Tugas (Plt.) yang di dalam Undang-undang memiliki kewenangan yang terbatas. Eh tapi sekarang emang masyarakat nggak gaduh ya? Udah takut korona, takut perut kosong juga. Beda pendapat bisa saling tikam deh.

Blio juga menjadikan beberapa negara sebagai contoh yang berhasil menjalankan pemilu di tengah Pandemi, kita sebut saja Singapura, Jerman, Perancis, dan Korea Selatan. Netizen dengan segala kebebasannya pun kembali bercuap “Ya disana koronanya emang belom selesai, tapi terkendali mang odading!”. Emangnya di Indonesia koronanya nggak terkendali? Pemerintah kan optimistis, gimanasih kalian? Jangan dibiasain pesimis dong, nggak baik buat pikiran dan kesehatan tau.

Dua organisasi besar Islam dan organisasi masyarakat lainnya pun ikut ambil sikap menyatakan lebih baik Pilkada ditunda terlebih dahulu. Ditakutkan apabila Pilkada tetap dilaksanakan, akan menimbulkan klaster-klaster baru korona. Entah itu dari berkumpulnya massa saat kampanye atau saat hari pemungutan suara berlangsung.

Pemerintah menegaskan bahwa semua Kementrian dan Lembaga terkait tengah mempersiapkan upaya untuk mengatur Pilkada agar tetap menjalankan protokol kesehatan yang ketat serta penegakan hukum yang tegas tanpa memandang zona wilayah. Nahkan Pemerintah tuh serius loh, kita liat aja beberapa bulan kebelakang, protokol kesehatan dan penegakan hukum berjalan dengan baik bukan(?)

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) selaku pengawal penyelenggaraan pemilu memaparkan bahwa terdapat 300 calon peserta Pilkada yang melanggar protokol kesehatan saat mendaftar ke KPU di daerahnya masing-masing pada tanggal 4-6 September. Bahkan sampai ada yang bawa massa, salah satunya putra Pak presiden yang membawa arak-arakan pendukung ke KPUD Kota Solo. Hmm…

Saya yakin kok mereka ini bukan abai ataupun sengaja melanggar protokol kesehatan, mereka nggak salah tapi hanya keliru saja. Apalagi kita tau, ini para calon Kepala Daerah loh, bukan sembarang kaleng, pastinya mereka punya akal. Jangan diremehin deh gaes kualitasnya, inget prasangka baik! Bisa jadi ini adalah bentuk antusiasme warga karena mereka adalah calon kepala daerahnya. Berani kalian nyalahin warga? Apalagi kalo ibu-ibu, siap-siap pasang kuping kuat ya.

Sempat juga terjadi kisruh apabila Pilkada tetap lanjut yaitu, dibolehkannya kampanye pasangan calon untuk mengadakan konser musik. Walaupun, KPU sebagai penyelenggara akan memastikan protokol kesehatan akan tetap dilaksanakan dengan merevisi Peraturan KPU (PKPU) dan konser musik dilaksanakan secara daring.

Sebagai masyarakat biasa, Bingung nggak sih? Apa Pilkada tetap harus dilaksanakan Desember 2020 nanti atau ditunda dulu. Kalau bilang ditunda dulu, tapikan kata Pak Fajroel Pilkada ini dapat jadi momentum baru buat masyarakat menemukan inovasi baru untuk memutus rantai penyebaran korona. Penelitian? Kelamaan ah, nemuin vaksin kan nggak gampang gaes. So, Pilkada adalah solusi.

Kalau tetap dilaksanakan, tapi takut deh akan jadi bom waktu. Akan ada klaster-klaster baru korona nantinya di tengah-tengah masyarakat. Ahli Epidemi aja mengkhawatirkan ini, apalagi saya sebagai orang awam yang nggak tau apa-apa.

Kasian ya Pemerintah, setelah dibuatnya dilemma antara kesehatan atau ekonomi yang harus diprioritaskan. Sekarang harus ditambah lagi dengan kesehatan atau konstitusi. Saya sih nggak sanggup mikirinnya, berat, biar Pemerintah aja. Kasian juga kesehatan harus versus lawan ekonomi dan konstitusi. Walaupun ketiganya memang penting.

Lalu saya bertanya-tanya, Pilkada ini demi kepentingan siapa sih? Rakyat atau Partai? Ah lupa….prasangka baik. Kalo kata pepatah kuno, “Suara rakyat, suara Tuhan”. Jadi mana mungkin partai punya kepentingan.

Sabtu, 19 September 2020

,

Usaha Dunia Menggoyahkan Angka Digdaya

Saat kita menjelaskan kepada Pemerintah lokal bahwa ada suatu kedai yang menjual bir beracun. Maka Pemerintah lokal akan menjawab "Ya, tapi sebelum kita menghancurkan kedai itu, coba kalian jelaskan secara spesifik apa yang harus dipakai sebagai gantinya" - Herman Daly

Walaupun sudah dipaparkan mengenai kekurangan PDB oleh banyak ahli terutama ekonom ekologi, namun tetap saja masih belum bisa menyadarkan para politisi dan ekonom untuk berhenti menggunakan indikator ini. Herman Daly mengatakan "Tak ada bir yang lebih sedap ketimbang bir beracun". Seakan-akan para politisi dan ekonom saat ini sedang dimabuk angka-angka pertumbuhan ekonomi dengan indikator PDB walaupun mereka tahu bahwa angka-angka ini memiliki banyak kekurangan.

Sejak 1970-an sudah banyak ekonom progresif, LSM, wadah pemikiran dan masyarakat sipil yang berusaha untuk menggulingkan PDB dan menggantinya dengan angka yang lebih baik dengan menambahkan ukuran-ukuran kesejahteraan ekonomi dan kemajuan yang nyata. Hal tersebut menjadi lumrah bagi lembaga-lembaga resmi terutama PBB dan Bank Dunia.

Upaya untuk menghasilkan indikator alternatif ini akhirnya berkembang menjadi debat publik internasional tentang skala dan arti kerusakan lingkungan serta kebijakan-kebijakan yang diperlukan untuk menanganinya. Pada tahun 1972 Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (Konferensi Stockholm) menjadi awal perjuangan politik lingkungan hidup sampai saat ini. Walaupun tekanan dari gerakan lingkungan hidup semakin menguat, namun lobi-lobi industri kepada Pemerintah Amerika Serikat tetaplah menjadi batu sandungan. 

Perjuangan tersebut akhirnya melahirkan Protokol Kyoto pada 2005 yang saat ini menjadi satu-satunya kesepakatan global mengenai perubahan iklim. Walaupun Pemerintah Amerika Serikat tak pernah secara resmi menandatangani kesepakatan ini.  Beberapa negara pun akhirnya mengundurkan diri dari kesepakatan Kyoto ini, yaitu Brazil, China, India, Afrika Selatan, dan Kanada yang menandai bahwa semakin gelapnya kesepakatan ini dapat terlaksana.

Usaha pertama kali untuk merevisi PDB dilakukan oleh William Nordhaus dan James Tobin pada 1971. Mereka mengembangkan indeks yang disebut Measure of Economic Welfare (MEW). Selanjutnya sepanjang 1970an sampai 1980 ekonom Robert Eisner berusaha untuk perlunya perombakan neraca nasional AS. Penemuannya yang paling terkenal adalah Total Incomes System of Accounts (TISA) yang memperluas dan merevisi ukuran pendapatan nasional secara resmi.  Selanjutnya Herman Daly dan teolog John Cobb untuk pertama kalinya berusaha mengintegrasikan data ekonomi makro, sosial, dan ekonomi pada 1980an yang dinamakan Index of Sustainable Economic Welfare (ISEW).

Selain peneliti dan beberapa wadah pemikiran yang berusaha untuk menggantikan atau memperbaiki PDB. Negara dan lembaga-lembaga negara juga berusaha untuk melakukan revisi maupun mengubahnya. Kerajaan Bhutan mengenalkan "Kebahagiaan Nasional Bruto" pada 1972. Jigme Singye Wangchuck menyatakan bahwa negaranya akan melepaskan diri dari kebijakan ekonomi yang disetir oleh PDB untuk mengadopsi pendekatan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Buddha.  University of Leicester pada 2006 dalam penelitiannya menemukan bahwa rakyat Bhutan termasuk orang-orang yang paling bahagia walaupun dengan angka PDB yang kecil. Kerajaan Bhutan menempati posisi kedelapan setelah negara-negara dengan angka PDB yang besar.

Bank Dunia juga berusaha memperkenalkan ukuran baru yaitu kesejahteraan sosial. Salah satu indikator yang diperkenalkan adalah simpanan bersih disesuaikan (adjusted net saving) atau genuine saving. Lalu salah satu lembaga di bawah PBB yaitu United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 1990 memperkenalkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk menolak hegemoni PDB. Presiden Prancis, Nicolas Sarkozy pada 2009 memerintahkan untuk membentuk komisi untuk mengetahui indikator alternatif untuk membuat kebijakan selain menggunakan PDB. Komisi ini mengingatkan agar tidak memadukan semua pengukuran ini ke dalam satu angka tunggal (PDB). Komisi ini mengajukan konsep dasbor. Dimana PDB adalah satu angka tunggal yang menjelaskan kita sudah seberapa cepat melaju. Namun pengemudi yang waras juga harus mengetahui sisah bahan bakar yang tersedia, seberapa jauh mobil masih sanggup berjalan dan sudah seberapa jauh jarak yang ditempuh.

Walaupun begitu, ada beberapa negara yang menolak untuk menerima usulan ukuran alternatif ini. Salah satunya adalah Amerika Serikat. Menurut OECD apabila produksi dan jasa rumah tangga dimasukan ke dalam estimasi resmi maka AS akan dilampaui oleh negara-negara Eropa. Hal tersebut akan mempengaruhi impian ekonomi AS (American Dream). Selanjutnya China, yang memperkenalkan PDB hijau pada 2002. Perhitungan tersebut melibatkan biaya kerusakan lingkungan akibat industri. Namun saat pertama klainya laporan perhitungan tersebut diterbitkan, banyak pemerintahan lokal terutama daerah industri yang menyumbang polusi udara yang tinggi menolak untuk memberikan datanya. Mereka takut hal itu menjadi boomerang yang akhirnya menjatuhkan derajat mereka sebagai pemimpin daerah tersebut.

Sejak 1953, telah dibuatkan pedoman penghitungan PDB untuk internasional yaitu United Nations System of National Accounts (UNSNA , kritikan dari para ekonom ekologi dan pakar lingkungan progresif terus berdatangan. Namun para pengkaji di PBB melakukan serangan balik dengan menolak kritikan tersebut karena para pakar lingkungan itu terlalu memaksakan "ukuran normatif".  Mereka berpendapat bahwa sumber daya alam itu tak pernah dibeli, maka penilaian apapun yang diajukan akan bersifat artifisial dan kontroversial. Maka lebih baik tidak dihitung sama sekali, daripada dihitung tapi melenceng. 

Pada KTT Rio+ 20 Juni 2012, lembaga-lembaga keuangan di dunia menandatangani "deklarasi modal alam" yang berusaha mengintegrasikan penghitungan lingkungan ke dalam operasi keuangan mereka. Namun Greenpeace organisasi lingkungan dunia menyatakan menyatakan kegiatan tersebut akan bersifat spekulatif dan tidak selamanya bijaksana.  Karena mengukur yang tidak dapat diukur akan menjadi absurd dan menghasilkan kesimpulan yang bias. 

Maka dari itu, sampai saat ini PDB masih menjadi salah satu indikator yang sehat walafiat yang digunakan oleh lembaga-lembaga pemerintahan untuk membuat kebijakan yang berkaitan dengan ekonomi. Memang benar, angka itu benar-benar digdaya!

Bersambung...

"Hambatan utama dalam melahirkan perubahan sejati adalah bahwa badan-badan statistik di seluruh dunia dijalankan oleh para ekonom dan ahli statistik, yang dimana mereka bukanlah orang-orang yang nyaman dengan manusia." - Alex Michalos

Sumber: Sejarah dan Realitas Politik di Balik Angka Pertumbuhan Ekonomi, oleh: Lorenzo Fioramonti

Rabu, 16 September 2020

Sindrom Frankenstein dalam Ilmu Ekonomi

"20 tahun terakhir, jam kerja warga Amerika Serikat meningkat setiap tahunnya (9 jam). Selama hampir 100 tahun jam kerja berkurang, penurunan ini tiba-tiba berhenti pada tahun 1940. Itulah dimulai era baru jam kerja" - Julie Schor

Penciptaan PDB telah menandai sebuah titik baru dalam evolusi pemikiran ekonomi dan hubungannya dengan perumusan kebijakan Pemerintah. Seakan-akan ilmu sosial lainnya dikangkangi oleh ilmu ekonomi, demi tercapainya kesejahteraan masyarakat yang didasarkan atas angka PDB.

Arthur Okun direktur Council of Economic Advisers (1968 - 1969) adalah salah satu pemuja angka PDB. Dia mencetuskan Hukum Okun yang berbunyi bahwa setiap kenaikan 3 persen PDB akan menghasilkan penyerapan tenaga kerja sebesar 1 persen. Namun sayangnya, hubungan antara PDB dan penyerapan tenaga kerja ini tak pernah dipertanyakan oleh para pembuat kebijakan ataupun ekonom. Dari 1960an sampai saat ini PDB begitu menguasai arena politik yang menjanjikan kebahagiaan bagi masyarakat.

Setelah periode euforia awal PDB, Kuznets sebagai pencipta angka tersebut mulai meragukan ciptaannya. Ia khawatir apabila bertambahnya belanjaan barang mewah berada di skala pendapatan nasional, maka akan menutupi jatuhnya daya beli di tingkat bawah, sehingga terciptalah yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Dilihat dari kasus seperti itu PDB seakan-akan seperti "pemutih statistik" mencuci ketimpangan yang terjadi. Hal tersebut dapat menciptakan bias bagi para pembuat kebijakan dalam membuat kebijakan ekonomi.. 

Pada 1962, ketika PDB disalahartikan demi tujuan-tujuan politik. Kuznets menyatakan pendapat bahwa kesejahteraan sebuah bangsa hampir tidak dapat disimpulkan dari sebuah ukuran produksi nasional. Menurutnya perhitungan produk neto lebih akurat dibandingkan dengan bruto. Namun dikarenakan efisiensi produk bruto maka PDB menjadi begitu populer yang dikeluarkan dalam tiap kuartal. Walaupun terjadi bias untuk mengukur produksi ekonomi suatu negara.

Sejak pertengahan 1900-an, berbagai kajian telah dilakukan yang menunjukan bahwa tidak adanya korelasi pertumbuhan PDB dengan kebahagiaan yang dirasakan oleh individu. Dalam makalahnya pada 1974, Richard A. Easterlin dari University of Southern California memaparkan bahwa kebahagiaan individu tidak ikut meningkat saat terjadinya pertumbuhan PDB. Malah Pertumbuhan PDB tidak meningkatkan masyarakat pada suatu titik rasa berkecukupan, sebaliknya pertumbuhan PDB meningkatkan keinginan individu pada taraf hidup yang lebih tinggi lagi yang menciptakan rasa tak merasa cukup.

Pada 1977, paradoks Easterlin diuji dengan data yang lebih baru dan kompherensif namun hasilnya sedikit lebih optimistis. Kebahagiaan yang dilaporkan di AS maupun Eropa hanya tumbuh sedikit saja dalam 20 tahun terakhir sedangkan pertumbuhan PDB menunjukan peningkatan yang luar biasa. Tingkat pertumbuhan bunuh diri masyarakat di negara-negara kaya bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara miskin. Simpelnya, pertumbuhan ekonomi hanya membeli secuil kecil saja kebahagiaan.

Perhitungan PDB umumnya mengabaikan sumber kemanfaatan atau ketidakmanfaatan yamg tidak terkait dengan transaksi pasar atau diukur oleh nilai pasar untuk barang dan jasa. Hal tersebut membuat Nordhaus dan Tubin mengatakan bahwa dihapuskannya waktu luang dan kegiatan produktif nonpasar dari pengukuran produksi memberi kesan bahwa para ekonom itu materialistis secara membabi buta.

Dengan contoh sebagai berikut, saat kita membangun taman yang indah di halaman rumah kita dan memiliki tetangga yang begitu mengjengkelkan. Maka kedua hal tersebut tidak menjadi salah satu faktor kebahagiaan individu yang dilihat oleh para pembuat kebijakan. Terkadang hal-hal yang berpengaruh negatif terhadap masyarakat malah berpengaruh positif terhadap PDB. Seperti misalnya ketika di suatu daerah yang lingkungannya sudah terkontaminasi akibat aktivitas tambang, namun bagi PDB itu adalah pertumbuhan ekonomi yang menandakan pertumbuhan ekonomi yang dianggap mampu meningkatkan kebahagiaan masyarakat di daerah tersebut.

Pada 1970an, ekonom Fred Hirsch secara panjang lebar mengatakan sebagai warisan moral yang menipis dari pertumbuhan PDB. Menurut Hirsch, PDB hanya dapat mempertahankan dirinya melalui penghancuran barang-barang non-pasar, yaitu dengan mengurangi pemakaian gratis dengan cara digantikan dengan pemakaian yang berbayar. Dalam The Great Transformation pakar ekonomi-politik Karl Polanyi menyajarkan proses eksploitasi manusia dan sumber daya alam yang mencirikan pembentukan "masyarakat pasar".

Kehidupan urban adalah kota yang dibangun untuk pekerja, jarang ditemui fasilitas gratis, banyak tempat-tempat menawarkan hiburan yang berbayar. Apalagi kesejahteraan individu masyarakat urban sangat bergantung pada apa yang orang lain lakukan sehingga menimbulkan dampak negatif bagi mereka untuk menguras sumber dayanya untuk memenuhi kebutuhan tersebut, yang dinamakan pengeluaran defensif yaitu pengeluaran yang digunakan untuk mempertahankan dirinya dari degradasi sosial.. Ekonom Italia Antoci dan Bartolini menyebut ini sebagai "Sindrom Penyejuk Udara". Dimana masyarakat menggunakan penyejuk udara di dalam ruangannya, dari mesin penyejuk udara menghasilkan gas-gas yang merusak ozon bumi, sehingga membuat bumi lebih panas. Dengan begitu masyarakat luas akan berbondong-bondong untuk membeli penyejuk udara.

Lalu sebenarnya apa yang membuat hidup ini bernilai?

Walaupun begitu, tidak semua mereka yang berada di panggung politik mempercayai angka yang maha ajaib ini. Salah satu dari politikus itu adalah Robert F. Kennedy saudara dari JFK. Pada 1968 ia mencalonkan diri sebagai presiden dengan mengusung platform keadilan ekonomi. Dalam kampanyenya di University of Kansas, ia menyampaikan dalam pidatonya yang bersejarah, yaitu:

"Produk Nasional Bruto tidak menghitung kesehatan anak-anak kita, kualitas pendidikan mereka, atau suka rianya permainan mereka. Perhitungan itu tidak mengikutsertakan keindahan puisi kita atau kekuatan rumah tangga kita, kecerdasan kita dalam debat publik atau integritas pejabat kita. pengetahuan kita. Singkat kata, PDB menghitung semuanya, kecuali hal-hal yang membuat hidup kita bernilai."

Seperti Frankenstein dalam novel Mary Shelley, Kuznets mengakui bahaya dari apa yang telah dia ciptakan. Ia memperingatkan politisi maupun masyarakat mengenai potensi manipulasi dan kesalahpahaman seputar PDB dan pertumbuhan ekonomi.

Bersambung...

Sumber: Sejarah dan Realitas Politik di Balik Angka Pertumbuhan Ekonomi, oleh: Lorenzo Fioramonti