Kamis, 08 Oktober 2020

Terancamnya Lingkungan dan Sumber Daya Alam Indonesia

Koran Tempo, 8 Oktober 2020

Selain mencakup klaster ketenagakerjaan, UU Cipta kerja juga mencakup klaster perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2009. Terdapat beberapa permasalahan yang terdapat dalam UU Cipta kerja, yaitu: pelanggaran terhadap asas-asas dalam pembentuka peraturan perundang-undangan, ketidakjelasan dalam naskah akademik, dan kebutuhan atas perubahan undang-undang tersebut. Berikut beberapa permasalahan yang terdapat dalam Undang-undang tersebut:

1. Penyusunannya melanggar ketentuan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Terdapat dua asas yang dilanggar dalam UU No.12 Tahun 2011, yaitu asas keterbukaan dan asas dapat dilaksanakan.

- Asas Keterbukaan

Asas ini mewajibkan proses perencanaan hingga pengundangan suatu perundang-undangan perlu bersifat transparan dan terbuka yang seluas-luasnya supaya masyarakat dapat terlibat dan memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Namun yang terjadi RUU Cipta Kerja dan naskah akademiknya baru dapat diakses masyarakat setelah Surat Presiden diserahkan kepada DPR. Dalam tahap ini, penyusunan sebenarnya sudah selesai dan masuk ke tahap pembahasan. Lalu, masyarakat juga tidak memiliki akses untuk menyampaikan aspirasi secara lisan ataupun tertulis dalam proses penyusunannya.

- Asas Dapat Dilaksanakan

Asas ini menyatakan setiap peraturan perundang-undangan arus memperhitungkan efektivitasnya di dalam masyarakat secara filosofis, sosiologis, dan yurudis.

Namun yang terjadi RUU Cipta Kerja ini memandatkan hal-hal yang mendasar yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang menjadi diatur dalam Peraturan Pemerintah. Alasannya adalah karena untuk fleksibilitas. Konsekuensinya adalah UU Cipta Kerja ini memandatkan untuk membentuk 454 Peraturan itu yang harus dicapai dalam waktu 3 bulansetelah UU ini disahkan. Hal tersebut sangat tidak realistis, dikhawatirkan UU Ciptaker ini tidak dapat segera dioperasionalkan dengan baik sebelum peraturan yang dimandatkan selesai dibuat.

2. Naskah akademik tidak menjelaskan urgensi mengapa peraturan tersebut harus diubah

Seharusnya naskah akademik suatu UU perlu menjawab 4 pertanyaan dasar mengapa perubahan ini diperlukan, yaitu:

1. Permasalahan apa yang dihadapi, serta bagaimana ermasalah tersebut dapat diatasi
2. Mengapa perlu rancangan undang-undang yang berarti membenarkan pelibatan negara dalam penyelesaian masalah tersebut
3. Apa yang menjadi pertimbangan pembentukan rancangan undang-undang (secara filosofis, sosiologis, dan yuridis)
4. Apa sasaran yang diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan

Namun yang terjadi, setiap revisi dalam RUU Ciptaker, tidak membahasnya secara komprehensif yang menjelaskan kenapa peraturan ini harus dirubah. Salah satu contoh adalah mengubah lingkup masyarakat yang berpartisipasi dalam penyusunan Amdal yang tadinya terdiri atas 3 komponen, menjadi hanya 1 komponen saja, yaitu masyarkat yang terdampak langsung. Dalam revisi tersebut tidak dijelaskan secara komprehensif di dalam naskah akademik mengapa harus dirubah

3. UU Ciptaker tidak menjawab permasalahan dan tidak menyelesaikan PR tentang lingkungan hidup

UU Ciptaker mengabaikan masalah penegakan hukum dan korupsi yang terjadi di Indonesia. UU ini hanya menyorot sistem perizinan dan regulasi gemuk yang menyebabkan sulitnya melakukan kegiatan bisnis di Indonesia. Tapi tidak menyoroti tentang enforcing contract dalam easy of doing business (EODB) dan kasus korupsi dalam Global Competetiveness Index (GCI). 

Hasil berbagai penelitian juga membuktikan bahwa tata kelola pemerintahan yang baik akan mempengaruhi nilai investasi asing dan pertumbuhan ekonomi. Dua hal yang hendak dicapai UU Cipta Kerja.

Sejak tahun 2001 hingga 2015 Indonesia telah dirugikan akibat korupsi sebesar Rp203,9 triliun, angka yang fantastis. UU Ciptaker berpotensi menciptakan sesat pikir dengan narasi penciptaan lapangan pekerjaan, padahal memberikan kesempatan kegiatan usaha yang ekstraktif.

Sejak tahun 2014, penanaman modal asing Indonesia terbilang stabil walaupun melambat di tahun 2018. Bahkan masuk ke dalam Top 20 Host Economies (negara tujuan investasi) pada tahun 2017. Walaupun tingkat investasi selalu meningkat, nyatanya penyerapan tenaga kerja dari penanaman modal asing cenderung stagnan bahkan menurun.

UU Cipta Kerja memudahkan kegiatan usaha yang ekstraktif, seperti perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Namun kewajiban pelaku usaha atas lingkungan dilonggarkan dan peran masyarakat dalam penyusunan Amdal hanya bagi masyarakat terdampak.

Saat ini Indonesia berada ditengah krisis lingkungan hidup. Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia pada tahun 2019 adalah yang terparah sejak 2015, lahan yang terbakar mencapai 1.649.258 hektar. Selain kebakaran hutan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup akibat pertambangan terus terjadi. Hingga Februari 2020 telah terdapat 37 korban meninggal akibat lubang bekas galian tambang di Kalimantan Timur.

Mirisnya, UU Cipta Kerja memberikan stimulus royalti 0% bagi pengusaha batu bara, dengan alasan demi melakukan peningkatan nilai tambah.

Tulisan ini bersumber dari Kertas Kebijakan yang diterbitkan oleh Indonesian Center for Environtmental Law (ICEL) yang berjudul Berbagai Problematika dalam UU Cipta Kerja Sektor Lingkungan dan Sumber Daya Alam.

Apabila ingin mengetahui lebih lanjut terkait dampak UU Cipta Kerja terhadap sektor lingkungan dan sumber daya alam serta analisis mendalam pasal demi pasal. Teman-teman dapat mendownloadnya di link di bawah ini:

Berbagai Problematika dalam UU Cipta Kerja Sektor Lingkungan dan Sumber Daya Alam

Rabu, 07 Oktober 2020

Omnibus Law Kacau Balau


Minggu, 20 Oktober 2019, Jokowi dilantik untuk kedua kalinya sebagai Presiden RI. Dalam pidatonya tersebut, blio menyinggung konsep hukum perundang-undangan yang digadang-gadang menjadi omnibus law. Tujuannya adalah untuk menyederhanakan regulasi yang ada sehingga lebih tepat sasaran.

Pada sekitaran Januari 2020, Pemerintah mengajukan dua omnibus law, yaitu Cipta Kerja dan Perpajakan. yang masing-masing terdapat 11 klaster dan enam klaster. Februari 2020, Pemerintah menyerahkan naskah akademis dan draft RUU kepada DPR untuk dibahas. Jokowi memberi target pada DPR untuk menyelesaikannya dalam waktu 100 hari. Bahkan blio berjanji akan memberikan dua jempolnya apabila DPR mampu menyanggupi targetnya. Bukan sembarang jempol tuh. Dikebutnya pembahasan RUU ini bukan tanpa alasan. Katanya, demi iklim investasi yang lebih baik di Indonesia. 

Sedari awal RUU ini telah mendapatkan penolakan keras dari golongan buruh ataupun pekerja. Walaupun begitu, DPR tetap meloloskan Draf RUU Pemerintah ke Badan Legislasi pada April 2020. Atas hal tersebut, serangkaian aksi oleh serikat buruh pun terjadi dimana-mana bahkan hingga menghiasi Trending Topic di sosial media.

Pada bulan Agustus 2020 ketika para buruh masih menggaungkan penolakan terhadap RUU ini, terdapat isu bahwa Pemerintah menggunakan selebritis di dunia maya. Sebab, beberapa seleb mempostingkan dukungannya terhadap RUU ini. Namun Pemerintah menampik isu tersebut.

Ditengah penolakan yang begitu keras, seakan-akan RUU ini berjalan begitu saja. Rapat pembahasannya pun seperti bermain petak umpet dengan masyarakat. Jadi teringat kata Gus Dur, kalau Senayan itu seperti taman kanak-kanak. 

Senin, 28 September 2020, RUU Cipta Kerja telah memasuki tahap final. Memang terdapat dua klaster yang dihapus, namun klaster yang paling kontroversial yaitu ketenagakerjaan tetap dipertahankan. Suparman Andi Agtas selaku Ketua Baleg DPR mengatakan blio sudah berusaha untuk menjembatani antara kepentingan pekerja dan pelaku usaha. Tetapi dinamika dan ketegangan yang terjadi begitu luar biasa. Kalau belum ketemu titik temu antara dua pihak, ya tapi kok tetep dilanjut.

RUU ini dilanjutkan hingga ke pembahasan tingkat I pada Sabtu, 3 Oktober 2020 dan disepakati untuk dibahas dalam Rapat Paripurna untuk disahkan. Rencananya Rapat Paripurna akan digelar pada Kamis, 8 Oktober 2020. Namun Rapat Paripurna itu dipercepat menjadi Senin, 5 Oktober 2020. Achmad Baidowi selaku Wakil Ketua Baleg DPR RI mengatakan alasannya masa sidang I tahun sidang I 2020-2021 dipercepat karena bertambahnya laju Covid-19 di lingkungan DPR. 

Disaat massa buruh masih tertahan di perbatasan Ibu Kota untuk menyampaikan suara, seakan-akan DPR abai dan berusaha secepat kilat mengesahkan RUU Ciptaker pada 5 Oktober 2020. Jika memang laju Covid-19 sedang meningkat, apa tidak lebih bijak untuk menunda terlebih dahulu daripada harus secara terburu-buru mengesahkannya. Apalagi pengesahan itu mendapat penolakan dari masyarakat yang mengundang unjuk rasa dan terjadinya kerumunan. Padahal kesehatan masyarakat tak bisa diwakilkan oleh kesehatan dewan, suara yang harusnya terwakilkan saja nyatanya juga tidak terwakilkan.

RUU Ciptaker ini telah disahkan dalam Rapat Paripurna, namun masih ada kesempatan bagi masyarakat untuk menjegalnya. Guru Besar FH UGM, Zaenal Arifin Mochtar mengatakan proses penyusunan RUU Ciptaker ini cacat formil, dikarenakan tidak melibatkan partisipasi publik secara maksimal. Apalagi draf akhir dari RUU tidak dibagikan kepada anggota DPR usai dibahas di Rapat Paripurna, rapat itu seperti cek kosong.

Blio menyerukan kepada masyarakat untuk melakukan pembangkangan sipil dan memberikan desakan kepada Presiden untuk tidak menandatangi RUU tersebut. Walaupun tidak berefek apa-apa karena setelah 30 hari akan tetap menjadi UU, setidaknya akan menjadi catatan penting saat proses pengesahan karena pernyataan politik Presiden itu.

Selain pembangkangan sipil, blio juga memberi opsi lain untuk menjegal RUU ini, yaitu dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi apabila RUU Ciptaker telah disahkan menjadi Undang-undang.

Omong-omong selama penyusunan RUU Ciptaker, DPR jadi rajin bukan kepalang. Pembahasan dilakukan siang-malam bahkan akhir pekan. Memang hebat para tuan dan puan dewan.

Seperti yang sudah-sudah, UU KPK yang digadang-gadang menguatkan KPK, nyatanya sampai hari ini lembaga anti rasuah itu kehilangan tajinya. Padahal menurut laporan World Economic Forum 2017 dari 16 faktor yang menghambat kegiatan bisnis di Indonesia, faktor yang paling atas adalah karena korupsi yang sudah mengakar di Indonesia. Sedangkan regulasi ketenagakerjaan berada di urutan ke 13. 

Akhirnya, semua ini dilakukan atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi. Angka-angka pertumbuhan itu dijadikan indikator kesejahteraan rakyat. Suara arus bawah dikesampingkan, suara pemilik modal di atas kuasa. Pemilik modal girang, pekerja tak tenang. 

#MosiTidakPercaya
#TolakOmnibusLaw