Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Jumat, 31 Juli 2020

,

Belajar dari Keledai


Suatu hari ada seorang ayah dan anak yang hendak menjual keledainya ke pasar. Setelah semua urusan siap, mereka berangkat dengan menuntun keledainya.

Di tikungan pertama, seseorang mengatakan "kalian bodoh sekali, mengapa kalian tak naiki saja keledai itu". Setelah mendengarkan kata orang tersebut, sang ayah menaiki keledainya dan meminta anaknya untuk menuntun keledai tersebut.

Di tikungan kedua, seseorang berkata "Ayah yang jahat, membiarkan anaknya berjalan, sedangkan dirinya menunggangi keledai". Mendengar perkataan itu, sang ayah meminta anaknya menaiki keledai dan dirinya yang menuntun keledai.

Di tikungan ketiga, seseorang berkata "Anak durhaka, membiarkan ayahnya berjalan, sedangkan dirinya menunggani keledai". Mendengar perkataan itu, mereka berdua menaiki keledai secara bersamaan.

Di tikungan keempat, seseorang berkata "Apa kalian tidak merasa kasihan dengan keledai itu? dia bukan kuda yang mampu membawa beban berat". Mendegar perkataan itu, sang ayah berinisiatif untuk menggendong keledai itu menggunakan dua batang kayu.

Di tikungan kelima, seseorang kembali berkata "Bodoh sekali kalian, kenapa tidak kalian naiki saja keledai itu?".

Kesimpulan dari cerita di atas, setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melihat sebuah fenomena, yang dipengaruhi pengalaman dan pola pikirnya.

Mendengarkan pendapat semua orang hanya akan menimbulkan kebingungan yang paradoks. Benar dan salah itu relatif, tidak mutlak.

Dalam dunia kepakaran sekalipun, benar dan salah tak jarang diperdebatkan. Karena setiap pakar memiliki pondasi pemikirannya sendiri yang terkadang berbeda dengan pakar yang lain, apalagi kita yang hanya orang biasa.

Selama keputusan yang diambil kita yakini benar, maka lakukan. Selama tidak merugikan orang lain. Orang lain hanya memberikan pendapat, sedangkan yang berhak memutuskan adalah diri kita sendiri.

Sumber: Belajar dari ilmu keledai - Helmi Yahya (Youtube)

Kamis, 07 Mei 2020

Perjalanan Pangeran

Daerah-Daerah Misterius di Pegunungan Himalaya, Salah Satunya ...
Pegunungan Himalaya
Alkisah pada ribuan tahun lampau, hidup seorang raja di bawah kaki pegunungan Himalaya, Nepal. Hari itu ia amat kegirangan, karena putranya telah lahir ke dunia. Jauh-jauh hari sebelum hari kelahiran putranya, sang raja telah memiliki ide besar untuk putranya yang kelak akan menjadi seorang Pangeran. Sang raja menginginkan ketika hidup nanti, sang anak tak akan dibiarkan merasakan penderitaan sedikitpun.

Berjalannya waktu sang anak telah tumbuh menjadi seorang Pangeran gagah. Kehidupannya penuh dengan kegelimangan harta istana, kesusahan tiada hinggap pada dirinya. Hal tersebut menjadikan dirinya sebagai seorang Pangeran yang judes. Lambat laun, beberapa hari terakhir Pangeran merasakan hidupnya begitu membosankan dan tak bernilai.

Suatu malam, ia meminta kepada salah seorang pelayan istana untuk membawanya berkeliling desa setempat. Selama menyusuri pedesaan tersebut, sang Pangeran begitu kaget melihat penderitaan warga setempat. Selama ini yang ia kenal hanya kebahagiaan istana yang begitu megah.

Sekembalinya ke istana, Pangeran merasa begitu gelisah dan menjadi banyak pikiran. Dalam keadaan seperti itu, ia menyalahkan ayahnya atas apa yang telah diperbuat kepadanya. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, sang Pangeran memiliki ide besar seperti ayahnya, namun dengan arah yang berbeda.

Ide besar itu adalah ia ingin melepaskan seluruh kemewahan istana yang ada pada dirinya dan pergi meninggalkan istana. Ia ingin merasakan penderitaan yang belum pernah ia alami. Hidup dari rasa kasihan dan tidur di emperan jalan pasar yang dekil dan bau.

Sampai suatu ketika, Pangeran merasa tak menemukan pencerahan yang ia cari dari penderitaan tersebut. Baginya, penderitaan begitu menyebalkan. Tak jauh berbeda seperti kekayaan yang tanpa tujuan. Ide besar itu rasanya sia-sia. Ia mulai memikirkan ide besar lain untuk menemukan pencerahan yang dicarinya.

Akhirnya ia memutuskan untuk mandi dan pergi ke sebuah pohon besar, yang dibawahnya ia dapat merenungkan diri. Selama 49 hari di bawah pohon itu, ia mulai menemukan pencerahan yang dicarinya. Dalam pikirnya ia merenung "Orang kaya menderita karena kekayaannya, orang miskin menderita karena ketidakpunyaannya, seorang yatim menderita karena ketiadaan orang tuanya, seorang yang cinta dunia menderita karena kenikmatan dunia."

Dari hasil renungan itu ia menyimpulkan bahwa penderitaan tak dapat dihindarkan, mulai sekarang ia akan belajar bagaimana caranya untuk tidak menolak penderitaan tersebut.

Sumber: The Subtle Art of Not Giving a Fuck (book)

Minggu, 17 November 2019

Mamat kena Skakmat

https://lakonhidup.files.wordpress.com/2019/08/percakapan-di-warung-kopi-ilustrasi-radar-banyuwangiw.jpg?w=616
Sumber gambar: lakonhidup.com
Jalan kampung ramai anak kecil, ibu-ibu pusing membuntuti anak-anaknya. Di ujung jalan sebelum tikungan berdiri gagah warung kopi (Warkop) kang Asep, asli dari Kuningan. Merantau dari kampungnya karena sakit hati ditinggal kawin mantan pacarnya.

"Kang kopi liong hiji, gulanya dikit aja." pesan Mamat yang baru saja parkir motornya di depan warkop.

Dengan pengalaman yang melebihi barista kopi Starbucks, kang Asep dengan sigap membuatkan kopi untuk Mamat. Pemuda kampung sebelah yang suka mampir ke warkop kang Asep hanya untuk sekedar melepas jenuh.

"Ini kopinya mat, kayaknya lagi pusing banget nih?" tanya kang Asep

Semenjak tiba di warkop perawakan si Mamat kucel sekali, rambutnya gajelas arah kemana. Matanya keliatan loyo kayak lampu 2 watt.

"Iya nih kang, pusing lagi banyak kerjaan. Kalau ini pikiran bisa dibongkar, pengen dicopot sehari aja dulu kang biar lebih tenang." Jawab Mamat sambil nyeruput kopi liong cap bulannya.

"Jangan pusing-pusing mat, nanti cepet mati loh!" guyon kang Asep sambil tertawa.

Mendengar guyonan kang Asep, Mamat pun tersenyum. Perbincangan pun menjadi lebih cair di antara keduanya.

"Wah lagi asik nih ngobrol-ngobrol, ngobrolin apa sih?" tanya pak Abdul tiba-tiba, tokoh masyarakat sekitar yang punya kumis tebal. Saking tebalnya, kadang suka bersin karena bulunya masuk ke hidung.

"Ini pak, si Mamat katanya lagi pusing gara-gara kerjaan." timpal kang Asep.

 "Hah lu Mat, punya kerjaan kok pusing. Gakpunya kerjaan tau rasa lu!" ucap pak Abdul sambil menghampir bangku dan duduk di sebalah Mamat.

"Gimana ya pak, kerjaan kok kayaknya gakelar-kelar. Ada terus, kan bikin pusing pak." keluh Mamat ke pak Abdul.

Sebelum menjawab keluhan si Mamat, pak Abdul minta sama kang Asep satu mangkok bubur kacang ijo.

"Sep, kacang ijo hiji. Jangan pake santen!"

Setelah memesan bubur kacang ijo, pak Abdul menepak pundak Mamat.cukup keras.

"Heh, nih ya gua kasih tau ke lu. Yang gua liat-liat apalagi gua denger dari emak lu, lu sering nunda-nunda kerjaan lu. Ya gimana gamau pusing. Mulai besok kalau lu punya kerjaan, langsung kerjain mending deh, jangan ditunda-tunda." pak Abdul memberi ceramah

"Haduh gimana ya pak, kalau lagi males bawaannya pengen rebahan aja di kamar. Kan enaknya ngerjainnya pas lagi semangat pak" mengeles si Mamat.

"Sekarang gini deh, lu liat tuh si Asep, kalo mau males bisa aja dia. Tapi kalo dia males-malesan, itu anak istrinya mau makan apaan, yang ada tuh dapur bukan ngebul sama masakan, ngebul sama ocehan istrinya." tegas pak Abdul

"Udah deh, percuma kerjaan kalau dipikirin doang, kayak yang gua bilang tadi. Mulai besok kalo ada kerjaan, mulai deh ye kerjain, kalo dipikirin doang gabakal selesai tuh kerjaan, lu kira jin mau bantuin lu?" tambah pak Abdul

Bubur kacang ijo hangat telah tersaji di atas meja warkop.

"Ini pak kacang ijonya" sekaligus memberikan air putih.

"Betul Mat kata pak Abdul. Kalau dulu orang tua saya bilang mah, Kerjaan gabakal selesai kalau gak kita mulai, apalagi kalau cuman dipikirin aja." tambah kang Asep memberikan quotes dari orang tuanya.

"Tuh dengerin kata si Asep, udah ye mulai sekarang rubah pola pikir lu Mat." tegas pak Abdul.

"Iya pak, iyaa...." seloroh Mamat mengiyakan ucapan pak Abdul.

Selasa, 03 September 2019

Jaya tak Berjaya


https://ngertiaja.com/wp-content/uploads/2019/04/gambar-kartun-keren-pemandangan-rumah-2.jpg

Desa Sia Teng berada di Kabupaten Sia. Desa Sia Teng terkenal akan persawahannya yang banyak menghasilkan Padi, saking tumpah ruahnya hasil bumi di Desa itu, selain untuk mencukupi desanya sendiri, sisanya dapat dijual ke desa-desa lainnya bahkan kabupaten lainnya.

Suasana pagi di Desa Sia Teng amatlah tenang, burung-burung saling bersahutan seakan-akan menyambut hari dengan penuh ketenangan dan suka ria. Hamparan sawah terpapar hijau di bawah sinaran matahari, beberapa padi tampak menguning. Warga memulai aktivitasnya satu persatu, ada yang hendak pergi ke sawah, ada yang mengenyam pendidikan di desa lain, dan para ibu membersihkan rumah agar tetap bersih.

Jaya adalah anak dari salah satu petani di desa itu, ayahnya pak Loni terkenal di seluruh desa sebagai ayah yang sangat galak. Namun beberapa bulan terakhir, pak Loni menderita sakit keras sehingga dirinya tak mampu lagi untuk menggarap sawah. Jaya sebagai anak semata wayang harus menggantikan peran pak Loni untuk menggarap sawah. Ia biasa akan pergi ke sawah setelah pulang sekolah sebelum matahari tepat di atas kepala.

Karena keadaan ekonomi yang memprihatinkan, maka pak Loni tidak dibawa ke dokter. untuk mengisi perut sehari-hari saja sudah alhamdulillah sekali. Pertengahan Agustus penyakit pak Loni telah mengambil nyawanya, ia meninggal dalam keadaan yang memprihatinkan.

Setelah kepergian pak Loni, Jaya hanya tinggal sendiri di rumahnya. Berbulan-bulan menjalani kondisi sendiri seperti itu, akhirnya ia tak mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya walaupun hanya sekedar untuk makan. Hal tersebut mengundang keprihatinan warga untuk membantu Jaya agar mendapatkan kehidupan yang lebih layak.

Pak Raden sebagai ketua RT di lingkungan Jaya tinggal pun mendatangi rumah Jaya untuk menawarkan, agar dirinya mau diadopsi oleh pak Raden. Pak Raden menawarkan kehidupan yang lebih layak, jaminan kesehatan dan membiayai Jaya untuk melanjutkan sekolahnya. Jaya mengiyakan penawaran itu.

"Baik pak jika tidak merepotkan bapak" ucap Jaya mengiyakan

"Kalau begitu mulai besok, kamu bisa tidur di rumah bapak. Masalah rumah kamu ini, nanti akan bapak urus/"

Hari itu pertengahan bulan Mei, Jaya resmi tinggal di rumah Pak Raden. Pak Raden memiliki empat anak, yaitu Mamat, Jane, Bono, dan Susi. Kehadiran Jaya di rumah itu disambut baik oleh seisi rumah, bahkan istri pak Raden, bu Wayat sangat senang sekali dengan kehadiran Jaya.

"Kalau ada yang dibutuhkan, jangan sungkan-sungkan untuk bilang ya nak Jaya. Selagi mampu akan kami usahakan/" ucap Bu Wayat

"Baik bu." jawab Jaya

"Anggap saja kita ini semua keluarga kandungmu" seru bu Wayat.

Senin, 26 Agustus 2019

Sejuta Rindu


https://www.desadagan.id/desa/upload/artikel/kecil_1561949077_5j4ivlmqur1h7gxz23mi_19664.jpg
Malam itu dipertengahan Mei, bulan sedang purnamanya. Apalagi ditambah kemarau, langit malam selalu cerah. Semua makhluk dapat menikmati keindahan purnama dengan khidmat.

Ketika purnama sedang cantik-cantiknya dan seluruh makhluk di hamparan muka bumi takjub akan indahnya. Ikhsan dan ayahnya harus melewati malam dengan air mata. Ya, ibu Ikhsan atau istri dari pak Sodiq meninggal. Telah berpulang kepada sang pemiliki jiwa. Kesedihan memenuhi seisi rumah keluarga pak Sodiq. Ikhsan tiada henti-hentinya menangisi kepergian ibu yang sangat disayanginya. Betapa tidak, sehari-harinya ia terbiasa dengan ibunya. Sedangkan ayahnya, pak Sodiq sibuk mencari nafkah dari pagi gelap hinggal malam suntuk. Terlebih lagi Ikhsan adalah anak tunggal.

Para tetangga berdatangan untuk melayat dan mengucapkan duka kepada pak Sodiq dan juga Ikhsan. Warga pria sibuk mendirikan tenda dan menyiapkan kursi untuk para pelayat, yang wanita sibuk menyiapkan teh atau kopi dan juga cemilan untuk dihidangkan. Tak heran banyak sekali tetangga maupun sanak saudara yang hadir. Karena almarhumah bu Sodiq dikenal sangat santun dalam sikap dan bertutur kata. Sehingga banyak yang merasa kehilangan atas kepergian bu Sodiq.

Pagi telah datang dan jenazah bu Sodiq dimandikan agar segera dapat disholatkan lalu dimakamkan. Sesampainya di tempat pemakaman, tangis Ikhsan pecah, ia tak mampu menutupi kesedihannya. Setelah dimakamkan, para pelayat maupun sanak saudara segera kembali ke rumah duka untuk sekadar membantu beres-beres.

"Saya ucapkan terima kasih kepada bapak, ibu, maupun adek-adek karang taruna yang sudah banyak membantu selama proses pemakaman istri saya. Semoga kebaikan bapak, ibu dan adik-adik sekalian dibalas oleh Allah SWT dengan kebaikan yang lebih besar." Ucap pak Sodiq ketika kondisi rumahnya sudah rapih

"Amin pak, yang penting bapak harus tabah dan kuat menghadapi kenyataan ini. Karena Allah telah berkehendak, maka tak ada yang dapat menolaknya pak" Balas salah satu warga yang dikenal sebagai Pak RT.

Warga pun satu persatu telah kembali ke rumahnya masing-masing. Di rumah itu sekarang hanya tersisa pak Sodqi dan Ikhsan yang masih terbayang-bayang dengan bu Sodiq.

***


Sabtu, 24 Agustus 2019

Sepatu Baru

Sore itu, Anton sedang menikmati teh manis dengan sedikit gula di depan teras rumahnya. Rumah yang sederhana memiliki dua kamar tidur dan dapur di belakangnya. Ia biasa melakukan rutinitas ini untuk menghilangkan penatnya sepulang sekolah.

Nama lengkapnya Antoni Wijaya, biasa dipanggil Anton. Terlahir dari keluarga yang keadaan ekonominya naik turun. Ayahnya, Pak Kosim hanya seorang supir taksi yang akhir-akhir ini susah sekali mendapatkan penumpang. Ibunya, Bu Darsam menjalani peran sebagai ibu rumah tangga yang baik.

Anton sekolah di salah satu SMA Negeri terbaik di kotanya. Ia dapat memasuki sekolah itu dengan hasil ujian nasional yang memuaskan, sehingga tak heran dengan mudahnya ia mendaftar di SMA terbaik itu. Sudah menjadi rahasia umum, anak-anak di sekolah itu rata-rata adalah anak para pejabat. Ada pejabat RT, Camat, Lurah bahkan ada pejabat di Ibu Kota.

Senin pagi itu, rutinitas seperti di sekolah lainnya adalah upacara bendera. Semua siswa berbaris dengan rapih, terkadang ada beberapa siswa yang jongkok untuk sekedar menghindar dari terik panas matahari. Di antara ratusan siswa yang sedang berbaris, mudah saja untuk mencari Anton, hanya dengan melihat seragam putihnya yang sudah mulai kusam, berbeda dengan siswa lain yang seragamnya amat bersih.

Selesainya upacara, para siswa memiliki waktu beberapa menit untuk sekedar berleha-leha di depan kelas masing-masing. Pagi itu di depan kelas XI - 7 siswa pria sedang asik bergumul.

"Wah, sepatu baru nih, pasti mahal! yang ini limited edition Don" seru adi

"Lumayanlah, ini kemarin aku hampir nggak kebagian. Untungnya aku datang pagi sekali kemarin" Doni menjawab

"Berapa Don harganya?"

"Sekitar tiga jutaanlah" Doni menjawab sambil melemparkan senyum kepada teman-temannya

Anton yang berada di gerombolan itu hanya dapat ikut takjub melihatnya. Ia sadar bahwa ia tak mampu untuk membeli sepatu seperti itu.

***

Bel pulang sekolah terdengar nyaring, seluruh siswa bergegas untuk meninggalkan sekolah. Setelah pulang biasanya Anton akan bergabung dengan teman-temannya untuk sekedar tawa-tiwi di warung belakang sekolah, tapi sore itu ia lebih memilih untuk langsung pulang. Maka berjalan kakilah ia sampai rumahnya yang berjarak 3 kilometer dari sekolah.

Sampai di rumah Anton menemui Bu Darsam yang sedang meluruskan kaki untuk sekedar beristirahat, setelah menjalani tugas sebagai ibu rumah tangga seharian. Di atas meja telah terhidang tahu, tempe, dan sambal merah yang dipersiapkan untuk Anton dan Pak Kosim untuk makan.

Setelah berganti pakaian, Anton menuju meja makan untuk segera mengisi perutnya yang sudah lapar dari tadi siang. Saat makan, Bu Darsam menemaninya di bangku sebelah. 

"Bu, aku ingin beli sepatu baru, sepatuku yang lama sudah kusam sekali" Anton membuka obrolan

"Anakku, aku ingin sekali membelikanmu sepatu baru, tapi uang hendak tak ada. Ayahmu juga akhir-akhir ini sedang sepi penumpangnya. Kalau nanti ada rezeki lebih nanti mak belikan untukmu." Jawab Bu Darsam

Mendengar jawaban seperti itu Anton merasa tak enak hati kepada bu Darsam. Maka ia hanyut dalam makannya dan tak dilanjutkannya perbincangan. Selesai makan ia lalu bergegas ke teras untuk melakukan rutinitasnya, melepas penat.

***

Waktu malam telah tiba, pak Kosim sudah pulang setelah seharian keliling kota mencari penumpang dengan taksinya. Bu Darsam menyampaikan keinginan Anton untuk membeli sepatu baru kepada pak Kosim.

"Pak, anakmu tadi menanyakan padaku untuk dibelikan sepatu. Apakah hendak ada tabungan atau uang lebih padamu pak?" Tanya bu Darsam

"Bu, sudah sebulan ini penumpang sepi sekali yang hinggap ke dalam taksi. Bukan aku tak mau membelikannya, tapi memang sekarang sedang tak ada uang. Aku juga ingin membelikan dia sesuatu, hitung-hitung sebagai hadiah atas ulang tahunnya dua bulan yang lalu. Biar aku yang akan berbicara dengan Anton" Jawab pak Kosim

"Baiklah pak"

Seusai mandi dan sholat, pak Kosim langsung menuju kamar Anton. Ditemuinya Anton sedang belajar di dalam kamarnya.

"Anton sini nak, aku ingin berbicara padamu" Ajak pak Kosim

"Kudengar dari ibumu, kamu ingin sepatu baru ya? Maaf nak, untuk saat ini bapak sedang tak ada uang. Hasil menarik taksi pun hanya cukup untuk makan kita sehari-hari, bahkan untuk bayaran kontrakan dan listrik bulan depan tak menutupi. Bisakah kamu berikan bapak waktu barang dua sampai tiga bulan lagi?"

"Iya pak tak apa, aku mengerti maksudmu. Aku sadar bahwa yang kuinginkan hanya karena mengikuti nafsu saja pak, bukan karena kebutuhanku." Jawab Anton dengan pala tertunduk

"Nak, bukan aku ingin memarahimu, sungguh. Tapi dalam keadaan ekonomi seperti ini, alangkah lebih bijaknya kita menggunakan barang yang ada dengan semaksimal mungkin. Selama sepatumu belum jebol, itu masih dapat dipergunakan dengan baik." pak Kosim memberikan penjelasan

"Iya pak" 

"Dan jangan kamu ingin berbahagia karena nafsumu nak, tapi bahagialah karena kemampuanmu dalam memanfaatkan sesuatu sebaik-baiknya."

"Iya pak, aku paham sekarang. Maafkan aku pak, aku salah" Anton merasa tak enak hati kepada pak Kosim

"Tidak apa nak, kau masih muda. Jiwamu masih dipenuhi keinginan sebuah pengakuan, dan aku sebagai orang tuamu memiliki kewajiban untuk mengarahkanmu. Nanti kalau bapak ada sedikit rezeki, pasti akan bapak belikan sepatu untukmu."

"Sudah pak tak usah dipikirkan lagi masalah sepatu untukku, rasanya dengan sepatu lamaku, sudah cukup untuk ke sekolah."

"Terima kasih nak sudah memahami maksudku, kudoakan kau jadi orang besar nantinya. Tapi bukan orang besar yang lupa ketika kecilnya." Doa pak Kosim untuk Anton

"Amin pak, Aminn." Anton pun mengamini.