Malam itu dipertengahan Mei, bulan sedang purnamanya. Apalagi ditambah kemarau, langit malam selalu cerah. Semua makhluk dapat menikmati keindahan purnama dengan khidmat.
Ketika purnama sedang cantik-cantiknya dan seluruh makhluk di hamparan muka bumi takjub akan indahnya. Ikhsan dan ayahnya harus melewati malam dengan air mata. Ya, ibu Ikhsan atau istri dari pak Sodiq meninggal. Telah berpulang kepada sang pemiliki jiwa. Kesedihan memenuhi seisi rumah keluarga pak Sodiq. Ikhsan tiada henti-hentinya menangisi kepergian ibu yang sangat disayanginya. Betapa tidak, sehari-harinya ia terbiasa dengan ibunya. Sedangkan ayahnya, pak Sodiq sibuk mencari nafkah dari pagi gelap hinggal malam suntuk. Terlebih lagi Ikhsan adalah anak tunggal.
Para tetangga berdatangan untuk melayat dan mengucapkan duka kepada pak Sodiq dan juga Ikhsan. Warga pria sibuk mendirikan tenda dan menyiapkan kursi untuk para pelayat, yang wanita sibuk menyiapkan teh atau kopi dan juga cemilan untuk dihidangkan. Tak heran banyak sekali tetangga maupun sanak saudara yang hadir. Karena almarhumah bu Sodiq dikenal sangat santun dalam sikap dan bertutur kata. Sehingga banyak yang merasa kehilangan atas kepergian bu Sodiq.
Pagi telah datang dan jenazah bu Sodiq dimandikan agar segera dapat disholatkan lalu dimakamkan. Sesampainya di tempat pemakaman, tangis Ikhsan pecah, ia tak mampu menutupi kesedihannya. Setelah dimakamkan, para pelayat maupun sanak saudara segera kembali ke rumah duka untuk sekadar membantu beres-beres.
"Saya ucapkan terima kasih kepada bapak, ibu, maupun adek-adek karang taruna yang sudah banyak membantu selama proses pemakaman istri saya. Semoga kebaikan bapak, ibu dan adik-adik sekalian dibalas oleh Allah SWT dengan kebaikan yang lebih besar." Ucap pak Sodiq ketika kondisi rumahnya sudah rapih
"Amin pak, yang penting bapak harus tabah dan kuat menghadapi kenyataan ini. Karena Allah telah berkehendak, maka tak ada yang dapat menolaknya pak" Balas salah satu warga yang dikenal sebagai Pak RT.
Warga pun satu persatu telah kembali ke rumahnya masing-masing. Di rumah itu sekarang hanya tersisa pak Sodqi dan Ikhsan yang masih terbayang-bayang dengan bu Sodiq.
***
Malam telah datang, namun purnama telah hilang. Ikhsan malam itu memilih untuk naik ke atas genteng di dekat mesin air. Dari kecil Ikhsan memang senang di tempat itu hanya untuk sekedar berbaring dan melihat langit-langit yang dipenuhi oleh bintang. Di atas genteng Ikhsan berteriak sambil melambai-lambaikan tangan ke arah langit. Pak Sodiq dari bawah pun mendengar dan merasa kasihan melihat anaknya masih tak mampu untuk mengikhlaskan kepergian ibunya.
"Ikhsan, ayo turun.. sudah malam nak, nanti kamu sakit. Istirahatlah." Seru pak Sodiq dari bawah
Namun Ikhsan tak turun, ia tetap memilih untuk berbaring di atas genteng. Ikhsan dengan pak Sodiq memang tak begitu dekat karena kesibukan pak Sodiq mencari nafkah, ia memang sudah terbiasa bersama bu Sodiq. Apalagi sebelum tidur, Ikhsan akan dengan semangatnya untuk mendengarkan dongeng-dongeng yang diceritakan oleh bu Sodiq. Tapi malam ini hingga malam-malam berikutnya ia takkan pernah mendengarkan cerita dongeng kesayangannya lagi.
Hari demi hari berjalan kelakuan Ikhsan makin aneh, hampir setiap hari ia menuliskan surat tetapi pak Sodiq tak pernah tau apa isi surat tersebut. Ikhsan selalu menyimpan surat-surat itu di tempat rahasia yang tak satupun orang tau.
"Nak, ayah liat akhir-akhir ini kamu sering menulis surat, apa boleh ayah tau isi suratmu itu dan kepada suratmu itu ditujukan?" Tanya pak Sodiq dengan lembut
Kepalanya menggeleng, hanya itu jawaban yang diberikan kepada ayahnya. Pak Sodiq sadar, karena dahulu ia selalu tak menyempatkan waktu untuk bermain bersama Ikhsan, maka inilah akibatnya, seperti ada jarak diantara keduanya. Namun pak Sodiq tak pantang menyerah untuk berusaha lebih dekat dengan Ikhsan.
Berjalannya waktu, Ikhsan mulai membuka diri kepada pak Sodiq. Ia mulai mau untuk diceritakan dongeng-dongeng yang biasa diceritakan oleh ibunya dan sekarang digantikan ayahnya, pak Sodiq. Berbekal perkembangan positif hubungan antara pak Sodiq dan Ikhsan, suatu waktu pak Sodiq mulai memberanikan diri untuk bertanya lagi kepada ikhsan mengenai surat-surat yang ditulis Ikhsan.
"Nak, apakah ayah sudah boleh tahu isi surat-suratmu itu? dan kepada siapa hendak kau kirim surat-surat itu?" tanya pak Sodiq
"Ayah, surat ini berisikan kerinduanku pada ibu, dan aku kukimrikan untuk ibu tepat pada waktunya nanti" jelas Ikhsan kepada pak Sodiq
"Bagaimana caramu mengirimkan surat-surat ini nak? ibumu sudah tenang di alam sana. Kita sudah berbeda dunia dengan ibumu" tanya ayah terheran
"Dahulu ibu pernah cerita kepadaku bahwa orang-orang yang baik ketika meninggal akan menjadi bidadari di syurga. Ibu juga pernah bercerita ketika purnama para bidadari akan berkumpul diatasnya dan akan melihat keindahan bumi dari atas sana. Maka dari itu aku akan menunggu sampai purnama tiba yah" jelas Ikhsan.
***
Malam purnama pada pertengahan bulan berikutnya tiba, Ikhsan minta tolong kepada ayahnya untuk membelikan balon gas untuknya. Demi kesenangan hati anaknya, ia segera menuruti keinginannya.
Malam hari telah tiba, langit sungguh cerah malam itu. Tiada awan yang menghalangi sinar cerah purnama. Ikhsan mengajak ayahnya untuk ikut naik ke atas genteng bersamanya. Sesampainya di atas genteng Ikhsan mengeluarkan sebuah kantong yang berisikan surat-surat yang selama ini ditulisnya. Diikatkannya kantong itu pada balon-balon gas yang telah dibeli pak Sodiq sore harinya.
Setelah kantong terikat, tepat pada waktu ketika bulan lalu ibu Sodiq meninggal, Ikhsan pinta kepada ayahnya, pak Sodiq untuk bersama-sama melepaskan balon-balon gas itu ke langit. Dan terbanglah balon-balon itu bersama puluhan surat Ikhsan untuk ibunya.
Dengan mata berkaca-kaca, Ikhsan berteriak diantara keheningan malam ke arah bulan purnama.
"Ibu... Aku rindu padamu buuuuuuuuu."
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah, sebelum komentar itu dilarang