Minggu, 14 April 2019

Rindu, Menuju Tanah Suci


"Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami" - Tere Liye - Rindu

Mendengarkan kata rindu sebagian orang akan berkhayal tentang kisah sepasang kekasih yang tak kunjung bertemu. Namun, Tere Liye mengemas kata "Rindu" menurut hemat gue dalam buku ini ialah, rindu diri seseorang atas keteguhan hatinya dalam menjawab kegelisahan hidupnya. Rindu kepada-Nya yang maha mengetahui dunia dan segala isinya. Falsafah hidup banyak tertanam di dalam buku ini.

Buku ini berlatar waktu tahun 1938, sebagian umat muslim di Nusantara kala itu melaksanakan kegiatan Ibadah Haji. Di zaman itu perjalanan haji masih menggunakan kapal laut, belum ada pesawat komersil seperti saat ini. Setelah baca, gue jadi flashback buku Buya Hamka yang pergi haji pake kapal laut juga. Pelabuhan Batavia, Banda Aceh, Kolombo adalah pelabuhan yang wajib dilabuhi kapal yang hendak menuju Jeddah, Arab.
Waktu satu dua hari tidak cukup untuk kapal mengarungi samudra luas, tentu kapal bagai kampung terapung di dalamnya. Para penumpang mau tidak mau, sungkan tak sungkan, harus saling mengenali agar perjalanan berminggu-minggu itu tidak membosankan.

Di atas kapal Blitar Holland, para penumpang membawa pertanyaan masing di kepalanya mengenai hidup. Dari mengenang masa lalu yang kelam sehingga merasa pantaskah dirinya menginjak tanah suci? Lalu, dendam kepada orang yang seharusnya disayangi (orang tua), hingga akhirnya dendam itu lumat dengan mudah karena ketulusan maaf. Takdir yang tak pernah tertukar dan akan datang kepada pemiliknya. Serta bagaimana melihat suatu kejadian jangan hanya dari satu sisi saja (ini bikin ingat pesan yang ada di buku Rembulan Tenggelam di Wajahmu karya Tere Liye). Semua pertanyaan itu dapat dijawab oleh Gurutta. Siapa sangka, Gurutta yang mampu menjawab semua pertanyaan itu, malah tidak mampu menjawab pertanyaan batinnya sendiri. Ia merasa, setelah menulis tentang kemerdekaan adalah hak segala bangsa, apakah pantas dirinya disebut pengecut ketika ia sendiri tidak terjun langsung ke medan perang. Dalam kasus ini tergambarkan, seorang ulama juga manusia biasa seperti umumnya, memiliki pertanyaan yang dirinya sendiri tak bisa menjawab Malah, jawaban itu didapat dari Ambo Uleng, kelasi kapal yang baru belajar agama beberapa hari di atas kapal.

Anna dan Elsa, dua kakak beradik yang membuat suasana kapal selalu dipenuhi gelak tawa. Ayah mereka Daeng Andipati, pengusaha dan orang terpelajar yang dipandang di daerahnya, Makasar. Gurutta, Ulama besar di Makasar yang sudah tidak diragukan lagi kemahsyurannya. Ambo Uleng, pemuda pendiam yang mendaftarkan diri menjadi kelasi bukan untuk mendapatkan uang, ia hanya ingin pergi sejauh mungkin untuk mengubur kenangannya. Mbah kakung dan mbah putri, dua lanjut usia yang amat romatis. Bonda Upe, guru mengaji anak-anak di atas kapal. Bapak Soerjaningrat dan Mangoenkoesoemo, dua terpelajar yang menjadi guru dadakan di atas kapal. Kapitein Phillips, Ruben, dan Chef Lars, totok Belanda yang melayani mereka di atas kapal, dan Sergeant Lucas, tentara Kerajaan Belanda yang penuh dengan kekhawatiran terhadap Gurutta.

Terima kasih Tere Liye atas karyanya, terima kasih perpustakaan kampus atas pinjaman bukunya, Dankjewel Blitar Holand atas perjalanannya!

"Saat kita memutuskan memaafkan seseorang, bukan persoalan orang itu salah dan kita benar. Apakah orang itu jahat atau aniaya. Bukan! Kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian di dalam hati. (Halaman 374)"

0 komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah, sebelum komentar itu dilarang