Desa Sia Teng berada di Kabupaten Sia. Desa Sia Teng terkenal akan persawahannya yang banyak menghasilkan Padi, saking tumpah ruahnya hasil bumi di Desa itu, selain untuk mencukupi desanya sendiri, sisanya dapat dijual ke desa-desa lainnya bahkan kabupaten lainnya.
Suasana pagi di Desa Sia Teng amatlah tenang, burung-burung saling bersahutan seakan-akan menyambut hari dengan penuh ketenangan dan suka ria. Hamparan sawah terpapar hijau di bawah sinaran matahari, beberapa padi tampak menguning. Warga memulai aktivitasnya satu persatu, ada yang hendak pergi ke sawah, ada yang mengenyam pendidikan di desa lain, dan para ibu membersihkan rumah agar tetap bersih.
Jaya adalah anak dari salah satu petani di desa itu, ayahnya pak Loni terkenal di seluruh desa sebagai ayah yang sangat galak. Namun beberapa bulan terakhir, pak Loni menderita sakit keras sehingga dirinya tak mampu lagi untuk menggarap sawah. Jaya sebagai anak semata wayang harus menggantikan peran pak Loni untuk menggarap sawah. Ia biasa akan pergi ke sawah setelah pulang sekolah sebelum matahari tepat di atas kepala.
Karena keadaan ekonomi yang memprihatinkan, maka pak Loni tidak dibawa ke dokter. untuk mengisi perut sehari-hari saja sudah alhamdulillah sekali. Pertengahan Agustus penyakit pak Loni telah mengambil nyawanya, ia meninggal dalam keadaan yang memprihatinkan.
Setelah kepergian pak Loni, Jaya hanya tinggal sendiri di rumahnya. Berbulan-bulan menjalani kondisi sendiri seperti itu, akhirnya ia tak mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya walaupun hanya sekedar untuk makan. Hal tersebut mengundang keprihatinan warga untuk membantu Jaya agar mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
Pak Raden sebagai ketua RT di lingkungan Jaya tinggal pun mendatangi rumah Jaya untuk menawarkan, agar dirinya mau diadopsi oleh pak Raden. Pak Raden menawarkan kehidupan yang lebih layak, jaminan kesehatan dan membiayai Jaya untuk melanjutkan sekolahnya. Jaya mengiyakan penawaran itu.
"Baik pak jika tidak merepotkan bapak" ucap Jaya mengiyakan
"Kalau begitu mulai besok, kamu bisa tidur di rumah bapak. Masalah rumah kamu ini, nanti akan bapak urus/"
Hari itu pertengahan bulan Mei, Jaya resmi tinggal di rumah Pak Raden. Pak Raden memiliki empat anak, yaitu Mamat, Jane, Bono, dan Susi. Kehadiran Jaya di rumah itu disambut baik oleh seisi rumah, bahkan istri pak Raden, bu Wayat sangat senang sekali dengan kehadiran Jaya.
"Kalau ada yang dibutuhkan, jangan sungkan-sungkan untuk bilang ya nak Jaya. Selagi mampu akan kami usahakan/" ucap Bu Wayat
"Baik bu." jawab Jaya
"Anggap saja kita ini semua keluarga kandungmu" seru bu Wayat.
Hari demi hari dijalani Jaya di rumah pak Raden dan keluarganya. Mamat dan Bono yang hampir sepantaran dengan Jaya sering pergi ke sungat dekat rumahnya hanya untuk sekedar bermain di aliran sungai. Sedangkan Jane dan Susi sering berinteraksi dengan Jaya ketika sore hari, entah membicarakan cerita-cerita ataupun berbagi pikiran.
Pada suatu waktu Jaya jatuh sakit, penampilannya amat pucat sehingga orang yang melihatnya dapat dengan mudah mengetahui kalau ia sedang sakit. Anak-anak pak Raden mengetahui kondisi Jaya saat ini dan memberitahukannya kepada Bu Wayat.
"Bu, si Jaya sepertinya sakit, mukanya terlihat pucat sekali." ucap Susi kepada ibunya
Mendengar informasi dari anaknya, ia segera menemui Jaya.
"Nak Jaya, kamu sakit? mungkin kamu kurang istirahat nak, alangkah baiknya kamu perbanyak istirahat beberapa hari kedepan" saran bu Wayat.
Selama beberapa hari Jaya hanya terkapar di atas tempat tidur yang beralaskan tembikar. Namun kondisi tubuhnya tak kunjung membaik.
Pada hari Minggu, pak Raden beserta keluarga mendapatkan undangan pernikahan tetangganya, yang katanya akan mengadakan pesta besar di desa Sia Teng. Tentu pak Raden sebagai salah satu Ketua RT di desa itu ingin tampil seperti warga biasanya. Rencananya seluruh anak termasuk Jaya akan ikut untuk menghadiri pesta pernikahan tersebut. Bu Wayat telah memikirkan baju apa yang hendak digunakan nanti, sehingga seluruh pakaian telah di pesan dari pusat kota, yang terbaik.
Hari Minggu telah tiba, keluarga pak Raden sedang bersiap-siap dan berdandan agar tampil prima dihadapan para hadirin undangan, tak terkecuali anak-anaknya dengan pakaian yang terbaru dan terbaik. Wajah pucat Jaya yang sakit itu di vermaknya dengan balutan perias wajah sehingga menghilanglah wajah pucat itu.
Setibanya di tempat pesta, para tamu undangan telah ramai mengisi bangku-bangku yang telah disediakan. Satu persatu para hadirin menyambut kedatangan keluarga pak Raden, tak lupa mereka mengapresiasi pak Raden dan keluarganya yang telah mau megurusi Jaya sebatang kara.
"Bapak memang memiliki hati yang sangat baik, mau mengurusi Jaya yang padahal bukan saudara bapak. Lihatlah ia tampak segar sekali" ucap salah satu tamu
Alunan organ tunggal yang sengaja didatangkan dari kota menambah ramai suasana pesta, para tamu undangan ada yang ikut bernyanyi dan sebagai memecahkan tawa dalam keramaian.
Malam tiba, para tamu hadirin satu persatu meninggalkan lokasi pesta termasuk juga keluarga pak Raden. Wajah Jaya yang terlihat segar itu telah kembali menjadi pucat kembali setelah segala perias di wajahnya dihapuskan.
Kondisi sakit yang semakin parah membuat Jaya tak tahan lagi, ia memutuskan besok pagi ia akan pergi sendiri ke salah satu tabib di desa itu untuk mengobati penyakitnya. Esok paginya ketika Jaya hendak keluar rumah menuju tabib, ibu menemuinya di depan pintu.
"Mau kemana Jay? Bukannya kamu sedang sakit?" tanya ibu
"Ke tabib bu, aku sudah tak kuat menahan sakit ini." jawab Jaya pelan
"Nanti saja kita kesana dengan bapak, ibu pun sedang sibuk membuat masakan pesanan bu Romlah untuk acara pengajiannya. Takut-takut nanti kamu pingsan di jalan Jay" saran ibu.
Jaya pun menuruti kata bu Wayat agar ia pergi ke tabib nanti dengan pak Raden.
Hari demi hari, Jaya tak lekas juga dibawa ke tabib, dan ia sudah membuat keputusan bulat, bahwa esok hari ia akan tetap pergi ke tabib itu tanpa ataupun dengan bapak. Karena ia sudah benar-benar tak kuat menahan sakitnya lagi.
"Bu, lihat tuh si Jaya. Kok pucat sekali ya?" bisik ibu-ibu ketika berpapasan dengan Jaya di jalan
"Iya ya bu, padahal kemarin-kemari pas datang ke acara pesta ia terlihat segar" tanya bingung salah satu ibu-ibu
Dalam perjalanannya menuju tabib seorang diri, tiba-tiba Jaya jatuh ke jalan. Ia pingsan karena kondisinya yang terlalu lemah, apalagi matahari siang itu sedang panas-panasnya.
"Aku dimana..." ucap Jaya pelan ketika siuman
"Di tempat praktekku nak" balas seorang pria tua yang berjanggut
Ternyata Jaya telah berada di tempat si tabib, warga yang melihat Jaya terkapar di jalan langsung membawanya ke tempat tabib itu.
"Mbah bisakah sakitku ini disembuhkan?" tanya Jaya
"Bisa nak, tapi butuh proses yang panjang" jawab mbah
Setelah itu, mbah atau tabib memberikan beberapa ramuan dari tanaman sebagai obat untuk Jaya.
Sesampainya di rumah, ibu Wayat dan pak Raden sudah menunggu kedatangannya. Mereka juga sudah mendengar kabar bahwa Jaya pingsan di pinggir jalan dari orang yang membawa Jaya ke tabib.
"Kenapa kamu nekat sekali pergi ke tabib seorang diri dalam keadaan lemah Jay?" tanya pak Raden
"Aku sudah tak kuat menahan sakit ini pak, bu. Maka aku beranikan seorang diri untuk pergi ke tabib itu" jawab Jaya
"Kan sudah pernah aku bilang bisakah kamu menunggu kami yang mengantarkanmu" sahut bu Wayat
"Iya Jay, setidaknya kamu bisa menunggu kami yang mengantarkanmu. Tidak enak dilihat tetangga kamu seorang diri yang berwajah pucat pergi ke tabib, seperti anak yang tidak diurus saja" tambah pak Raden
"Pak, bu. Sakitku ini harus segera kuobati, tidak bisa menunggu waktu lebih lama lagi, aku tak ingin seperti bapak yang tak mengobati penyakitnya."
Dari balik tirai kamar ternyata Susi mendengarkan perbincangan itu.
"Betul pak, bu. Yang ia butuhkan sekarang ini adalah obat untuk menyembuhkan sakitnya. Percuma walau ditutupi dengan pakaian sebagus apapun, ditutup pucatnya serapih apapun. Kalau tak segera diobati maka celakalah yang akan menghampiri dirinya."
Dan suasa di ruang tamu rumah itu pun hening seketika.