Senin, 26 Agustus 2019

Sejuta Rindu


https://www.desadagan.id/desa/upload/artikel/kecil_1561949077_5j4ivlmqur1h7gxz23mi_19664.jpg
Malam itu dipertengahan Mei, bulan sedang purnamanya. Apalagi ditambah kemarau, langit malam selalu cerah. Semua makhluk dapat menikmati keindahan purnama dengan khidmat.

Ketika purnama sedang cantik-cantiknya dan seluruh makhluk di hamparan muka bumi takjub akan indahnya. Ikhsan dan ayahnya harus melewati malam dengan air mata. Ya, ibu Ikhsan atau istri dari pak Sodiq meninggal. Telah berpulang kepada sang pemiliki jiwa. Kesedihan memenuhi seisi rumah keluarga pak Sodiq. Ikhsan tiada henti-hentinya menangisi kepergian ibu yang sangat disayanginya. Betapa tidak, sehari-harinya ia terbiasa dengan ibunya. Sedangkan ayahnya, pak Sodiq sibuk mencari nafkah dari pagi gelap hinggal malam suntuk. Terlebih lagi Ikhsan adalah anak tunggal.

Para tetangga berdatangan untuk melayat dan mengucapkan duka kepada pak Sodiq dan juga Ikhsan. Warga pria sibuk mendirikan tenda dan menyiapkan kursi untuk para pelayat, yang wanita sibuk menyiapkan teh atau kopi dan juga cemilan untuk dihidangkan. Tak heran banyak sekali tetangga maupun sanak saudara yang hadir. Karena almarhumah bu Sodiq dikenal sangat santun dalam sikap dan bertutur kata. Sehingga banyak yang merasa kehilangan atas kepergian bu Sodiq.

Pagi telah datang dan jenazah bu Sodiq dimandikan agar segera dapat disholatkan lalu dimakamkan. Sesampainya di tempat pemakaman, tangis Ikhsan pecah, ia tak mampu menutupi kesedihannya. Setelah dimakamkan, para pelayat maupun sanak saudara segera kembali ke rumah duka untuk sekadar membantu beres-beres.

"Saya ucapkan terima kasih kepada bapak, ibu, maupun adek-adek karang taruna yang sudah banyak membantu selama proses pemakaman istri saya. Semoga kebaikan bapak, ibu dan adik-adik sekalian dibalas oleh Allah SWT dengan kebaikan yang lebih besar." Ucap pak Sodiq ketika kondisi rumahnya sudah rapih

"Amin pak, yang penting bapak harus tabah dan kuat menghadapi kenyataan ini. Karena Allah telah berkehendak, maka tak ada yang dapat menolaknya pak" Balas salah satu warga yang dikenal sebagai Pak RT.

Warga pun satu persatu telah kembali ke rumahnya masing-masing. Di rumah itu sekarang hanya tersisa pak Sodqi dan Ikhsan yang masih terbayang-bayang dengan bu Sodiq.

***


Sabtu, 24 Agustus 2019

Sepatu Baru

Sore itu, Anton sedang menikmati teh manis dengan sedikit gula di depan teras rumahnya. Rumah yang sederhana memiliki dua kamar tidur dan dapur di belakangnya. Ia biasa melakukan rutinitas ini untuk menghilangkan penatnya sepulang sekolah.

Nama lengkapnya Antoni Wijaya, biasa dipanggil Anton. Terlahir dari keluarga yang keadaan ekonominya naik turun. Ayahnya, Pak Kosim hanya seorang supir taksi yang akhir-akhir ini susah sekali mendapatkan penumpang. Ibunya, Bu Darsam menjalani peran sebagai ibu rumah tangga yang baik.

Anton sekolah di salah satu SMA Negeri terbaik di kotanya. Ia dapat memasuki sekolah itu dengan hasil ujian nasional yang memuaskan, sehingga tak heran dengan mudahnya ia mendaftar di SMA terbaik itu. Sudah menjadi rahasia umum, anak-anak di sekolah itu rata-rata adalah anak para pejabat. Ada pejabat RT, Camat, Lurah bahkan ada pejabat di Ibu Kota.

Senin pagi itu, rutinitas seperti di sekolah lainnya adalah upacara bendera. Semua siswa berbaris dengan rapih, terkadang ada beberapa siswa yang jongkok untuk sekedar menghindar dari terik panas matahari. Di antara ratusan siswa yang sedang berbaris, mudah saja untuk mencari Anton, hanya dengan melihat seragam putihnya yang sudah mulai kusam, berbeda dengan siswa lain yang seragamnya amat bersih.

Selesainya upacara, para siswa memiliki waktu beberapa menit untuk sekedar berleha-leha di depan kelas masing-masing. Pagi itu di depan kelas XI - 7 siswa pria sedang asik bergumul.

"Wah, sepatu baru nih, pasti mahal! yang ini limited edition Don" seru adi

"Lumayanlah, ini kemarin aku hampir nggak kebagian. Untungnya aku datang pagi sekali kemarin" Doni menjawab

"Berapa Don harganya?"

"Sekitar tiga jutaanlah" Doni menjawab sambil melemparkan senyum kepada teman-temannya

Anton yang berada di gerombolan itu hanya dapat ikut takjub melihatnya. Ia sadar bahwa ia tak mampu untuk membeli sepatu seperti itu.

***

Bel pulang sekolah terdengar nyaring, seluruh siswa bergegas untuk meninggalkan sekolah. Setelah pulang biasanya Anton akan bergabung dengan teman-temannya untuk sekedar tawa-tiwi di warung belakang sekolah, tapi sore itu ia lebih memilih untuk langsung pulang. Maka berjalan kakilah ia sampai rumahnya yang berjarak 3 kilometer dari sekolah.

Sampai di rumah Anton menemui Bu Darsam yang sedang meluruskan kaki untuk sekedar beristirahat, setelah menjalani tugas sebagai ibu rumah tangga seharian. Di atas meja telah terhidang tahu, tempe, dan sambal merah yang dipersiapkan untuk Anton dan Pak Kosim untuk makan.

Setelah berganti pakaian, Anton menuju meja makan untuk segera mengisi perutnya yang sudah lapar dari tadi siang. Saat makan, Bu Darsam menemaninya di bangku sebelah. 

"Bu, aku ingin beli sepatu baru, sepatuku yang lama sudah kusam sekali" Anton membuka obrolan

"Anakku, aku ingin sekali membelikanmu sepatu baru, tapi uang hendak tak ada. Ayahmu juga akhir-akhir ini sedang sepi penumpangnya. Kalau nanti ada rezeki lebih nanti mak belikan untukmu." Jawab Bu Darsam

Mendengar jawaban seperti itu Anton merasa tak enak hati kepada bu Darsam. Maka ia hanyut dalam makannya dan tak dilanjutkannya perbincangan. Selesai makan ia lalu bergegas ke teras untuk melakukan rutinitasnya, melepas penat.

***

Waktu malam telah tiba, pak Kosim sudah pulang setelah seharian keliling kota mencari penumpang dengan taksinya. Bu Darsam menyampaikan keinginan Anton untuk membeli sepatu baru kepada pak Kosim.

"Pak, anakmu tadi menanyakan padaku untuk dibelikan sepatu. Apakah hendak ada tabungan atau uang lebih padamu pak?" Tanya bu Darsam

"Bu, sudah sebulan ini penumpang sepi sekali yang hinggap ke dalam taksi. Bukan aku tak mau membelikannya, tapi memang sekarang sedang tak ada uang. Aku juga ingin membelikan dia sesuatu, hitung-hitung sebagai hadiah atas ulang tahunnya dua bulan yang lalu. Biar aku yang akan berbicara dengan Anton" Jawab pak Kosim

"Baiklah pak"

Seusai mandi dan sholat, pak Kosim langsung menuju kamar Anton. Ditemuinya Anton sedang belajar di dalam kamarnya.

"Anton sini nak, aku ingin berbicara padamu" Ajak pak Kosim

"Kudengar dari ibumu, kamu ingin sepatu baru ya? Maaf nak, untuk saat ini bapak sedang tak ada uang. Hasil menarik taksi pun hanya cukup untuk makan kita sehari-hari, bahkan untuk bayaran kontrakan dan listrik bulan depan tak menutupi. Bisakah kamu berikan bapak waktu barang dua sampai tiga bulan lagi?"

"Iya pak tak apa, aku mengerti maksudmu. Aku sadar bahwa yang kuinginkan hanya karena mengikuti nafsu saja pak, bukan karena kebutuhanku." Jawab Anton dengan pala tertunduk

"Nak, bukan aku ingin memarahimu, sungguh. Tapi dalam keadaan ekonomi seperti ini, alangkah lebih bijaknya kita menggunakan barang yang ada dengan semaksimal mungkin. Selama sepatumu belum jebol, itu masih dapat dipergunakan dengan baik." pak Kosim memberikan penjelasan

"Iya pak" 

"Dan jangan kamu ingin berbahagia karena nafsumu nak, tapi bahagialah karena kemampuanmu dalam memanfaatkan sesuatu sebaik-baiknya."

"Iya pak, aku paham sekarang. Maafkan aku pak, aku salah" Anton merasa tak enak hati kepada pak Kosim

"Tidak apa nak, kau masih muda. Jiwamu masih dipenuhi keinginan sebuah pengakuan, dan aku sebagai orang tuamu memiliki kewajiban untuk mengarahkanmu. Nanti kalau bapak ada sedikit rezeki, pasti akan bapak belikan sepatu untukmu."

"Sudah pak tak usah dipikirkan lagi masalah sepatu untukku, rasanya dengan sepatu lamaku, sudah cukup untuk ke sekolah."

"Terima kasih nak sudah memahami maksudku, kudoakan kau jadi orang besar nantinya. Tapi bukan orang besar yang lupa ketika kecilnya." Doa pak Kosim untuk Anton

"Amin pak, Aminn." Anton pun mengamini.