Rabu, 07 Oktober 2020

Omnibus Law Kacau Balau


Minggu, 20 Oktober 2019, Jokowi dilantik untuk kedua kalinya sebagai Presiden RI. Dalam pidatonya tersebut, blio menyinggung konsep hukum perundang-undangan yang digadang-gadang menjadi omnibus law. Tujuannya adalah untuk menyederhanakan regulasi yang ada sehingga lebih tepat sasaran.

Pada sekitaran Januari 2020, Pemerintah mengajukan dua omnibus law, yaitu Cipta Kerja dan Perpajakan. yang masing-masing terdapat 11 klaster dan enam klaster. Februari 2020, Pemerintah menyerahkan naskah akademis dan draft RUU kepada DPR untuk dibahas. Jokowi memberi target pada DPR untuk menyelesaikannya dalam waktu 100 hari. Bahkan blio berjanji akan memberikan dua jempolnya apabila DPR mampu menyanggupi targetnya. Bukan sembarang jempol tuh. Dikebutnya pembahasan RUU ini bukan tanpa alasan. Katanya, demi iklim investasi yang lebih baik di Indonesia. 

Sedari awal RUU ini telah mendapatkan penolakan keras dari golongan buruh ataupun pekerja. Walaupun begitu, DPR tetap meloloskan Draf RUU Pemerintah ke Badan Legislasi pada April 2020. Atas hal tersebut, serangkaian aksi oleh serikat buruh pun terjadi dimana-mana bahkan hingga menghiasi Trending Topic di sosial media.

Pada bulan Agustus 2020 ketika para buruh masih menggaungkan penolakan terhadap RUU ini, terdapat isu bahwa Pemerintah menggunakan selebritis di dunia maya. Sebab, beberapa seleb mempostingkan dukungannya terhadap RUU ini. Namun Pemerintah menampik isu tersebut.

Ditengah penolakan yang begitu keras, seakan-akan RUU ini berjalan begitu saja. Rapat pembahasannya pun seperti bermain petak umpet dengan masyarakat. Jadi teringat kata Gus Dur, kalau Senayan itu seperti taman kanak-kanak. 

Senin, 28 September 2020, RUU Cipta Kerja telah memasuki tahap final. Memang terdapat dua klaster yang dihapus, namun klaster yang paling kontroversial yaitu ketenagakerjaan tetap dipertahankan. Suparman Andi Agtas selaku Ketua Baleg DPR mengatakan blio sudah berusaha untuk menjembatani antara kepentingan pekerja dan pelaku usaha. Tetapi dinamika dan ketegangan yang terjadi begitu luar biasa. Kalau belum ketemu titik temu antara dua pihak, ya tapi kok tetep dilanjut.

RUU ini dilanjutkan hingga ke pembahasan tingkat I pada Sabtu, 3 Oktober 2020 dan disepakati untuk dibahas dalam Rapat Paripurna untuk disahkan. Rencananya Rapat Paripurna akan digelar pada Kamis, 8 Oktober 2020. Namun Rapat Paripurna itu dipercepat menjadi Senin, 5 Oktober 2020. Achmad Baidowi selaku Wakil Ketua Baleg DPR RI mengatakan alasannya masa sidang I tahun sidang I 2020-2021 dipercepat karena bertambahnya laju Covid-19 di lingkungan DPR. 

Disaat massa buruh masih tertahan di perbatasan Ibu Kota untuk menyampaikan suara, seakan-akan DPR abai dan berusaha secepat kilat mengesahkan RUU Ciptaker pada 5 Oktober 2020. Jika memang laju Covid-19 sedang meningkat, apa tidak lebih bijak untuk menunda terlebih dahulu daripada harus secara terburu-buru mengesahkannya. Apalagi pengesahan itu mendapat penolakan dari masyarakat yang mengundang unjuk rasa dan terjadinya kerumunan. Padahal kesehatan masyarakat tak bisa diwakilkan oleh kesehatan dewan, suara yang harusnya terwakilkan saja nyatanya juga tidak terwakilkan.

RUU Ciptaker ini telah disahkan dalam Rapat Paripurna, namun masih ada kesempatan bagi masyarakat untuk menjegalnya. Guru Besar FH UGM, Zaenal Arifin Mochtar mengatakan proses penyusunan RUU Ciptaker ini cacat formil, dikarenakan tidak melibatkan partisipasi publik secara maksimal. Apalagi draf akhir dari RUU tidak dibagikan kepada anggota DPR usai dibahas di Rapat Paripurna, rapat itu seperti cek kosong.

Blio menyerukan kepada masyarakat untuk melakukan pembangkangan sipil dan memberikan desakan kepada Presiden untuk tidak menandatangi RUU tersebut. Walaupun tidak berefek apa-apa karena setelah 30 hari akan tetap menjadi UU, setidaknya akan menjadi catatan penting saat proses pengesahan karena pernyataan politik Presiden itu.

Selain pembangkangan sipil, blio juga memberi opsi lain untuk menjegal RUU ini, yaitu dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi apabila RUU Ciptaker telah disahkan menjadi Undang-undang.

Omong-omong selama penyusunan RUU Ciptaker, DPR jadi rajin bukan kepalang. Pembahasan dilakukan siang-malam bahkan akhir pekan. Memang hebat para tuan dan puan dewan.

Seperti yang sudah-sudah, UU KPK yang digadang-gadang menguatkan KPK, nyatanya sampai hari ini lembaga anti rasuah itu kehilangan tajinya. Padahal menurut laporan World Economic Forum 2017 dari 16 faktor yang menghambat kegiatan bisnis di Indonesia, faktor yang paling atas adalah karena korupsi yang sudah mengakar di Indonesia. Sedangkan regulasi ketenagakerjaan berada di urutan ke 13. 

Akhirnya, semua ini dilakukan atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi. Angka-angka pertumbuhan itu dijadikan indikator kesejahteraan rakyat. Suara arus bawah dikesampingkan, suara pemilik modal di atas kuasa. Pemilik modal girang, pekerja tak tenang. 

#MosiTidakPercaya
#TolakOmnibusLaw

Selasa, 29 September 2020

Pilkada Kok Lanjut?

Harian Kompas, Minggu 27 September 2020
Beberapa hari kebelakang, suasana pagi di rumahku sejuk sekali. Tanda musim hujan akan segera tiba, “winter is coming..”. Makin nikmat rasanya kalau udara sejuk seperti ini ditambah dengan sarapan nasi uduk dan ditemani segelas kopi, kepul-kepul asap tembakau ikut menyibuki. wussshhh~ Hidangan keramat.

Saat menikmati hidangan keramat ini ditemani layar televisi. Acara pagi seperti biasa menampilkan beberapa pilihan, ada kartun, ceramah agama, dan warta berita. Ohiya lupa ketinggalan, lagu Indonesia Raya akan selalu ada untuk mengawali pagi anda. Tenang sinetron azab ataupun cinta-cintaan belum ada jam segini.

Pagi itu, saya tertarik untuk menyaksikan warta berita. Beritanya menakutkan, beberapa hari terakhir angka penambahan kasus positif korona sering pecah rekor. Ini membanggakan sekali. Secara pejabat-pejabat kita kan sukanya yang positif terus, termasuk terhadap perekonomian.

Bencana alam juga menghiasi warta berita. Sukabumi banjir bandang, pabrik air mineral aja sampe kena, alam emang gak memihak siapapun ya gaes. Dan lagi Kalian tau Kalimantan? Pulau yang hutannya lebat itu, banjir loh.. hmm kok bisa ya? Sepertinya masyarakat sana yang banyak berkhayal selama ini. Wong disana yang banyak perusahaan tambang sama kelapa sawit kok, bukan hutan.

Bencana kesehatan sudah, bencana alam sudah, presenter kembali lagi mengabarkan kontroversi Pilkada 2020. Presiden kita, Pak Jokowi melalui juru bicaranya Pak Fadjroel Rachman, blio mengatakan bahwa Pilkada 2020 akan tetap dilaksanakan walaupun pandemi korona belumlah usai. Alasannya demi menjaga hak konstitusi, hak dipilih dan memilih. Katanya lagi, Pemerintah nggak bisa memastikan kapan pandemi ini berakhir. Netizen pun bercuap “Siapa suruh dari awal anggep remeh korona?!”. Netizen yang budiman sini saya kasih tau, Pemerintah bukan anggep remeh, tapi berprasangka baik.

Lalu apabila Pilkada ditunda sementara, akan mengakibatkan kegaduhan di tengah masyarakat. Karena ketika masa jabatan Kepala Daerah habis, maka harus dilanjutkan oleh Pelaksana Tugas (Plt.) yang di dalam Undang-undang memiliki kewenangan yang terbatas. Eh tapi sekarang emang masyarakat nggak gaduh ya? Udah takut korona, takut perut kosong juga. Beda pendapat bisa saling tikam deh.

Blio juga menjadikan beberapa negara sebagai contoh yang berhasil menjalankan pemilu di tengah Pandemi, kita sebut saja Singapura, Jerman, Perancis, dan Korea Selatan. Netizen dengan segala kebebasannya pun kembali bercuap “Ya disana koronanya emang belom selesai, tapi terkendali mang odading!”. Emangnya di Indonesia koronanya nggak terkendali? Pemerintah kan optimistis, gimanasih kalian? Jangan dibiasain pesimis dong, nggak baik buat pikiran dan kesehatan tau.

Dua organisasi besar Islam dan organisasi masyarakat lainnya pun ikut ambil sikap menyatakan lebih baik Pilkada ditunda terlebih dahulu. Ditakutkan apabila Pilkada tetap dilaksanakan, akan menimbulkan klaster-klaster baru korona. Entah itu dari berkumpulnya massa saat kampanye atau saat hari pemungutan suara berlangsung.

Pemerintah menegaskan bahwa semua Kementrian dan Lembaga terkait tengah mempersiapkan upaya untuk mengatur Pilkada agar tetap menjalankan protokol kesehatan yang ketat serta penegakan hukum yang tegas tanpa memandang zona wilayah. Nahkan Pemerintah tuh serius loh, kita liat aja beberapa bulan kebelakang, protokol kesehatan dan penegakan hukum berjalan dengan baik bukan(?)

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) selaku pengawal penyelenggaraan pemilu memaparkan bahwa terdapat 300 calon peserta Pilkada yang melanggar protokol kesehatan saat mendaftar ke KPU di daerahnya masing-masing pada tanggal 4-6 September. Bahkan sampai ada yang bawa massa, salah satunya putra Pak presiden yang membawa arak-arakan pendukung ke KPUD Kota Solo. Hmm…

Saya yakin kok mereka ini bukan abai ataupun sengaja melanggar protokol kesehatan, mereka nggak salah tapi hanya keliru saja. Apalagi kita tau, ini para calon Kepala Daerah loh, bukan sembarang kaleng, pastinya mereka punya akal. Jangan diremehin deh gaes kualitasnya, inget prasangka baik! Bisa jadi ini adalah bentuk antusiasme warga karena mereka adalah calon kepala daerahnya. Berani kalian nyalahin warga? Apalagi kalo ibu-ibu, siap-siap pasang kuping kuat ya.

Sempat juga terjadi kisruh apabila Pilkada tetap lanjut yaitu, dibolehkannya kampanye pasangan calon untuk mengadakan konser musik. Walaupun, KPU sebagai penyelenggara akan memastikan protokol kesehatan akan tetap dilaksanakan dengan merevisi Peraturan KPU (PKPU) dan konser musik dilaksanakan secara daring.

Sebagai masyarakat biasa, Bingung nggak sih? Apa Pilkada tetap harus dilaksanakan Desember 2020 nanti atau ditunda dulu. Kalau bilang ditunda dulu, tapikan kata Pak Fajroel Pilkada ini dapat jadi momentum baru buat masyarakat menemukan inovasi baru untuk memutus rantai penyebaran korona. Penelitian? Kelamaan ah, nemuin vaksin kan nggak gampang gaes. So, Pilkada adalah solusi.

Kalau tetap dilaksanakan, tapi takut deh akan jadi bom waktu. Akan ada klaster-klaster baru korona nantinya di tengah-tengah masyarakat. Ahli Epidemi aja mengkhawatirkan ini, apalagi saya sebagai orang awam yang nggak tau apa-apa.

Kasian ya Pemerintah, setelah dibuatnya dilemma antara kesehatan atau ekonomi yang harus diprioritaskan. Sekarang harus ditambah lagi dengan kesehatan atau konstitusi. Saya sih nggak sanggup mikirinnya, berat, biar Pemerintah aja. Kasian juga kesehatan harus versus lawan ekonomi dan konstitusi. Walaupun ketiganya memang penting.

Lalu saya bertanya-tanya, Pilkada ini demi kepentingan siapa sih? Rakyat atau Partai? Ah lupa….prasangka baik. Kalo kata pepatah kuno, “Suara rakyat, suara Tuhan”. Jadi mana mungkin partai punya kepentingan.