Selasa, 06 November 2018

Kamp Tahanan Nirbaya


Kamp tahanan Nirbaya menjadi saksi dimana para tokoh-tokoh penting pernah ditahan disana, salah satunya ialah seorang jurnalis dan sastrawan, yaitu Mochtar Lubis. Beliau adalah salah satu panutan bagi jurnalis masa kini yang memiliki kekayaan idealisme. Lahir di Padang pada 7 Maret 1992, sejak zaman penjajahan Jepang dirinya sudah terjun kedalam dunia jurnalisme. 

Didalam buku Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru dipaparkan naskah-naskah yang dicatat langsung oleh Mochtar Lubis semasa dirinya dipenjara selama dua bulan di Rumah Tahanan Nirbaya, Pondok Gede. Rata-rata naskah tersebut adalah surat-surat yang dikirimkan kepada istri tercintanya Halimah atau panggilan kesayangannya Hally. Di Nirbaya Mochtar Lubis bertemu dengan beberapa orang penting seperti : Kepala Staf Angkatan Udara, Marsekal Madya Udara TNI Omar Dhani, Menteri dalam pemerintahan Soekarno, yaitu Soebandrio, Ketua DEMA UI Hariman Siregar, dll. Rata-rata mereka yang ditahan di Nirbaya ini adalah tahanan politik diantaranya bekas-bekas orang kepercayaan Soekarno, orang-orang yang terkait dengan peristiwa Gestapu, dan juga orang-orang yang terkait dengan peristiwi Malari 1974 yaitu Mochtar Lubis dan Hariman Siregar. 

Ketika dirinya ditangkap pada pemerintahan order baru, ia dituduh terlibat dalam peristiwi Malari 1974 yang menyebabkan kerusuhan di Ibu Kota, Jakarta pada saat itu. Sepulang dari Paris, koran yang dipimpinnya yaitu Indonesia Raya dibredel oleh pemerintahan orde baru. Karena harian koran tersebut kerap dianggap mengkritik pemerintahan orde baru yang baru berjalan selama tujuh tahun tersebut. Tentu saja dirinya merasa mengapa memberikan kritik dan mencurahkan isi hati nuraninya demi kemajuan bangsanya para penguasa merasa gelisah. 

Kritik-kritik yang disampaikan Mochtar Lubis diantaranya terkait kasus modal asing yang masuk ke Indonesia pada saat itu, dimana pembangunan yang dijalankan oleh pemerintahan orde baru sangatlah boros dan tidak jelas manfaatnya, lalu proyek Taman Mini Indonesia Indah yang dianggap beliau sebagai proyek mercusuar untuk mempermudah praktik korupsi dikalangan para pejabat. Mochtar lubis juga kerap mengkritik kebanyakan para jurnalis saat itu yang prinsipnya adalah ABS, Asal Bapak Senang. Karena menurutnya seorang jurnalis memiliki tanggung jawab sebagai pengontrol sosial penguasa terhadap rakyatnya.

Didalam buku ini juga dijelaskan bagaimana didalam tahanan Nirbaya pemberian makanan oleh petugas sangatlah tidak manusiawi, apalagi para tahanan Gestapu. Rata-rata tahanan disini ditahan tanpa pengadilan yang jelas, dengan seenaknya pemerintahan orde baru memasukan mereka kebalik jeruji besi. Dibalik jeruji besi Mochtar Lubis selalu menyibukkan dirinya dengan kegiatan-kegiatan yang positif, yaitu : setiap pagi dirinya selalu melakukan kegiatan berlari, setelah itu membersihkan ruangan serta toilet, menulis surat kepada istrinya Hally, bermain volly dengan para tahanan lainnya, dan dimalam hari dirinya kerap membaca buku hingga tertidur.

Namun, dibalik sikapnya yang sangat berani melontarkan kritik-kritik tersebut. Mochtar Lubis amat sangat mencintai keluarganya. Dalam surat yang dikirimkan kepada istrinya sering kali menuliskan bahwa betapa rindu dirinya terhadap keluarganya> Apa boleh buat, dirinya harus dipenjara akibat dari niat baik demi kemajuan bangsanya. 

Setelah dua bulan berada di Nirbaya, akhirnya Mochtar Lubis bebas dan dapat menghirup udara segar. Hal ini dikarenakan pengadilan tidak dapat membuktikan bahwa dirinya terlibat dalam peristiwa Malari 1974. 

Apa yang bikin orang-orang berkuasa tak senang atau takut ada tulisan-tulisan saya? Saya sungguh heran. Saya tak berjuang dalam organisasi massa, saya tidak membina sesuatu massa. Saya hanya mencurahkan isi hati nurani dan pikiran-pikiran saya untuk kemajuan bangsa, perbaikan keadaan, mengoreksi apa saya rasa perlu dikoreksi, tapi orang-orang berkuasa selalu merasa gelisah menghadapi buah pikiran saya - Mochtar Lubis


Jumat, 07 September 2018

Anak Semua Bangsa, Bagian dari Tetralogi Pulau Buru

Anak Semua Bangsa adalah bagian dari karya Pram dalam Tetralogi Pulau Buru. Cerita di dalam buku ini adalah lanjutan dari Bumi Manusia. Keempat buku Pram dalam Tetralogi Pulau Buru akan membawa imajinasi para pembacanya kedalam suasana kolonial hingga akhirnya bagaimana Kebangkitan Nasional muncul di negeri ini.

Pada Bumi Manusia, pembaca akan diperkenalkan siapa itu tokoh Minke, Annelies, Nyai Ontosoroh, Jean Marais, dll. Pada bagian ini juga lebih fokus bagaimana proses perjalanan tokoh Minke dari seorang priyayi dan juga siswa H.B.S yang keturunan Pribumi namun berpendidikan Eropa, bertemu dengan Annelies hingga akhirnya menikah dan dipisahkan karena ketok palu pengadilan putih. Bertemu Nyai Ontosoroh yang semakin menguatkan keresehannya terhadap kondisi pribumi yang begitu terpuruk akibat dari hegemoni kolonial.

Pada bagian awal buku akan disajikan cerita Nyai Ontosoroh mengirimkan utusan bernama Panji Darman atau Jan Dapperste untuk memantau anaknya yaitu Annelies selama perjalanannya dari Jawa menuju Nederland yang berakhir tragis karena kematian Annelies. Nyai Ontosoroh sangat terpukul dan mengeluarkan sumpah serapah kepada keluarga Mellema yang telah membunuhnya secara perlahan, hingga Nyai berbicara pada Minke "Semua yang kolonial itu Iblis!".

Lalu kehadiran tokoh Khouw Ah Soe, pemuda cina dengan semangatnya mengembara keliling dunia demi kepentingan negaranya sendiri namun berakhir dengan kematian pula karena mati diperantauan dibunuh oleh bangsanya sendiri secara tragis.

Dibagian selanjutnya, pada suatu saat Jeans Marais memberikan nasihat kepada Minke untuk menulis dalam bahasa Melayu, bahasa bangsanya sendiri. Namun Minke bersikukuh untuk tetap menulis dalam Belanda. Terjadi perdebatan diantara keduanya hingga akhirnya Kommer semakin menguatkan perkataan Jeans Marais bahwa, untuk membangkitkan bangsa sendiri maka menulislah dengan bahasa mereka, sampaikan dengan bahasa yang mereka pahami. Bahkan perkataan yang paling menyakitkan bagi Minke dari Kommer adalah "Aku lebih mengenal bangsamu, daripada kau!".

Di Tulangan, Minke bertemu dengan petani yang dengan keras menolak tanahnya disewakan kepada Belanda. Ia adalah Trunodongso. Seorang petani yang berbeda dari petani lainnya, yang akhirnya dijadikan Tokoh oleh Minke dalam tulisannya untuk diberitakan dalam surat kabar. Alasannya pula untuk membuktikan kepada Kommer bahwa dirinya akan jauh lebih mengenal bangsanya sendiri.

Nyai Ontosoroh diingatkan lagi pada masa suramnya ketika mengetahui keponakannya dijual kepada Tuan Besar Gula yaitu Plikemboh. Keponakan Nyai yaitu Surati dijual oleh bapaknya sendiri yaitu Sastrokassier. Bagaimana tergambar pada zaman itu harta, keluarga, dan apapun boleh lenyap, tetapi jabatan harus tetap walau apapun itu yang dikorbankan. 

Setelah melewati segala yang telah dialami akhirnya Minke tersadar bahwa ia adalah bayi semua bangsa dari segala jaman yang harus menulis dalam bahasa bangsanya (Melayu) dan berbuat untuk manusia-manusia bangsanya. 

"Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari." - Nyai Ontosoroh kepada Minke