Minggu, 02 September 2018

Media Mainstream, Titik Balik itu Ada!


Pada zaman Kakek & Nenek serta orang tua kita dahulu surat kabar adalah menu sarapan bagi mereka untuk mengetahui peristiwa apa yang telah terjadi pada kemarin hari dalam lingkup lokal maupun Internasional. Belum ada internet ataupun Smartphone seperti sekarang ini. Kabar-kabar hoax tidak menyebar luas secara cepat dalam hitungan menit.

Awal tahun 2000an internet hadir menawarkan kemudahan informasi bagi penggunanya, pertukaran informasi yang berbatas jarak dapat dipatahkannya. Surat-surat kabar pun tak mau ketinggalan zaman, mereka menghadirkan portal web untuk masyarakat meng-aksesnya. Dengan modal internet dan komputer, kita dapat dengan cepat mengetahui kabar perkembangan kabar lokal maupun internasional.

Tahun 2000 ke atas, muncul berbagai berbagai platform yang lebih menarik. Diawali oleh Friendster kemudian Facebook dan juga Twitter. Facebook dengan fitur chatting, Twitter dengan konsep mikro-blog yang dapat melakukan aktivitas Tweet 140 karakter yang menjadi ciri khasnya.

Tentunya perkembangan media sosial itu menjadi ladang bagi developer lainnya untuk mengembangkan platform yang lebih baik sehingga berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik bagi penggunanya. Kehadiran Smartphone juga kembali menyegarkan, karena platform itu tidak hanya ada di Komputer, mereka juga ada dalam genggaman smartphone.

Kehadiran media sosial tersebut menjadikan media surat-surat kabar itu menjadi tidak menarik. Bagaimana tidak, dalam tiap genggaman, semua orang dapat membagikan peristiwa disekitarnya dengan mudah, bahkan ke up-to-date-an media mainstream itu dikalahkan oleh media sosial.

Akibatpun timbul, netizen dengan mudahnya percaya kabar-kabar hoax yang ada di media sosial itu. Dengan saling share kabar-kabar itu tak dapat dihalangi persebarannya, dengan mudahnya meracuni otak orang dari satu ke yang lainnya.

Gejolak dalam lingkup masyarakat pun pecah tak dapat dihindarkan. Masyarakat awam menelan mentah-mentah informasi itu. Dari sini peran media mainstream sangat dibutuhkan dalam memberikan berita yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Namun faktanya, banyak netizen kita pada saat ini lebih tertarik pada media sosial daripada media mainstream. Menjadi tantangan bagi media mainstream untuk menghadirkan berita-berita yang lebih berkualitas, yang isi-nya tidak politik melulu. Karena saya rasa netizen pada saat ini sudah mulai jenuh dengan berita-berita politik dan hoax yang mulai menjamur.
Tentunya dengan konten-konten yang lebih variatif serta edukatif media mainstream itu akan menemui titik baliknya kembali untuk menghadirkan kembali berita-berita yang dapat memberikan wawasan kepada para pembacanya. Dan untuk kita sebagai netizen harus dapat memilah informasi yang berlalu-lalang dalam smartphone kita.
 
Semoga kita tetap menjadi netizen yang bijak ya!
"Jari-mu adalah Harimau-mu"

Minggu, 26 Agustus 2018

Buya Hamka, dari Sudut Pandang Anak-nya


Halo! Kali ini saya akan review buku mengenai salah satu tokoh nasional Indonesia dan mungkin beberapa dari kita sudah mengenalnya. Ia adalah H. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka). Buku ini berjudul "Ayah... : Kisah Buya Hamka" yang ditulis oleh anak kelimanya sendiri yaitu Irfan Hamka. Buya Hamka adalah sosok ulama dan sastrawan besar pada zamannya. Mungkin beberapa dari kita mengenal sosok Buya Hamka melalui buku-bukunya yang cukup populer seperti :  Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dll.

Irfan Hamka sebagai anak dari Buya Hamka merasa perlu menulis buku ini sebagai kenangan tersendiri bagi dirinya yang telah dirasakan langsung sekaligus pengenalan terhadap para pembaca mengenai perjalanan hidup dari masa muda, dewasa, hingga menjadi seorang ulama, sastrawan, politisi, kepala dalam rumah tangga hingga akhir nafas Buya Hamka.

Di dalam buku ini terbagi menjadi sepuluh bagian yang terdiri dari:
1. Sejenak Mengenang Ayah
2. Ayah dan Masa Kecil Kami
3. Ayah Berdamai dengan Jin
4. Ayah, Ummi, dan Aku Naik Haji
5. Perjalanan Maut Ayah, Ummi, dan Aku
6. Ayah Seorang Sufi, di Mataku
7. Ayah dan Ummi, Teman Hidupnya
8. Si Kuning, Kucing Kesayangan Ayah
9. Ayah, Hasil Karya, dan Beberapa kisah
10. Ayah Meninggal Dunia

Pendidikan formal Buya Hamka sebenarnya hanya di Sekolah Desa itupun juga tidak tamat, Beliau lebih banyak memperdalam ilmunya melalui buku-buku dan juga belajar langsung kepada ulama-ulama besar di Sumatra, Jawa hingga ke Mekkah. Satu hal yang dapat mengantarkan beliau sampai ke Mekkah ialah karena merasa perlu memperdalam ilmunya dan memperbaiki bahasa arabnya setelah di kampungnya Buya ditolak menjadi seorang guru di Sekolah Muhammadiyah karena tidak memiliki ijazah atau diploma. Hingga pada masanya Buya Hamka mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir & Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama).

Beberapa hal unik yang menarik menurut saya seperti yang ada pada bagian ketiga dari sepuluh bagian, pada bagian ini dikenalkan tokoh gaib yaitu Innyiak Batungkek atau Kakek Bertongkat, diceritakan bagaimana Buya Hamka berkomunikasi hingga pada akhirnya berdamai dengan sosok jin yang mengganggu rumah barunya dan membuat seisi rumah heboh pada waktu itu.

Dibagian kedelapan ditampilkan bagaimana Buya benar-benar seorang muslim yang taat, kasih sayangnya tidak hanya kepada manusia. Kepada hewan dan tumbuhan pun juga dilakukannya, dibagian ini juga diceritakan sangat setianya seekor kucing (Si kuning) terhadap dirinya hingga akhir hayat Buya Hamka.

Dijelaskan pula dalam buku ini ketika itu Buya Hamka ditahan dalam penjara selama dua tahun empat bulan, ketika itu beliau berbeda pandangan mengenai kebijakan politik Demokrasi Terpimpin yang diterapkan Soekarno, namun ketika dipenjara beliau melahirkan sebuah buku yaitu Tafsir Al-Azhar.

Dalam karir politiknya Buya Hamka adalah anggota Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dan juga pernah menjabat sebagai Ketua MUI dan pada masa jabatannya beliau mengeluarkan fatwa yang kontroversial pada waktu itu mengenai fatwa haram bagi umat muslim merayakan natal. Pemerintah pada saat itu mendesak Buya Hamka untuk mencabut fatwa tersebut namun beliau lebih memilih untuk mundur dari jabatannya sebagai Ketua MUI.

Hal menarik lainnnya pula beliau pernah menolak tawaran dari Mentri Agama saat itu untuk menjadi Duta Besar Indonesia di Arab Saudi dan Gelar Jenderal Mayor Tituler yang ditawarkan oleh Jenderal A.H Nasution Mentri Pertahanan saat itu. Alasan beliau menolak tawaran itu tidak luput dari peran Ummi (Istri Buya Hamka) yang selalu memberikan saran kepada beliau.

Beberapa petuah yang saya tangkap dari beliau dari buku ini adalah seperti:

"Jika tidak suka dengan bukunya, jangan hancurkan bukunya. Balaslah dengan menulis"

Buya Hamka adalah sosok yang sangat penyabar dan penuh cinta, menurut saya pun sosok beliau sudah Paripurna untuk dikatakan sebagai seorang ulama. Sehingga dapat ditiru oleh generasi lanjut sekarang ini dan semoga akan muncul Buya Hamka lainnya yang akan memperbaiki negeri ini menjadi lebih baik.

Itulah beberapa yang dapat saya paparkan dari hasil membaca buku "Ayah... : Kisah Buya Hamka" karya Irfan Hamka sekaligus anak Buya Hamka. Buku ini juga sangat recommended karena bahasanya yang tidak berbelit-belit dan banyak hikmah yang dapat diambil. Sekian dan Terimakasih!