Suku Marind |
Jika kita mengingat lagi sebuah
lagu “Dari Sabang sampai Merauke” maka kita akan mendengar bahwa betapa
besarnya negeri ini, Jika Sabang berada di sebelah barat Indonesia berarti
Merauke berada di sebelah Timur Indonesia. Nama Merauke sendiri berasal dari
sebuah cerita dimana pada saat bangsa Belanda datang ke wilayah Merauke,
tepatnya di sungai Maro. Orang-orang Belanda tersebut bertanya pada salah satu
suku asli Merauke (Suku Marind)
tentang nama wilayah ini, Karena suku tersebut tak mengerti bahasa Belanda
ataupun Indonesia, mereka mengatakan bahwa daerah tersebut berada di sungai
Maro yang dalam bahasa Marind berbunyi “Maro
Ka Ehe” yang sekarang ini menjadi Merauke.
Salah satu yang menjadi ketertarikan
penulis disini tentang keberadaan Suku
Marind atau Marind-Anim
yang merupakan salah satu suku dari ribuan suku yang berada di Indonesia. Suku
Marind hidup di selatan dari bagian bawah sungai Digul, timur dari Pulau Yos
Sudarso, terutama di barat Sungai Maro yang merupakan area kecil melewati Maro
di bagian bawahnya, termasuk Merauke(Wikipedia, 2016). Tidak banyak orang Indonesia sendiri yang
mengetahui keberadaan suku ini, penulis mengetahui suku ini setelah membaca beberapa
artikel dan buku.Banyak orang yang salah kaprah tentang Marind dan Malind, mereka
mengira kedua suku ini sama padahal “Malind itu bukan Marind,” kata salah satu
tetua suku Marind(Letsoin, 2013), Bagaimana kedua suku ini bisa berbeda? Suku
Marind adalah hasil kawin campur dari orang-orang Suku Malind dengan orang yang
berada di luar suku mereka, sehingga sebelum adanya suku Marind telah ada suku
Malind terlebih dahulu namun sekarang ini sudah susah untuk mencari Suku Malind
asli karena sudah banyak yang menikah dengan orang yang di luar suku mereka.
Manusia Marind sering menyebut
diri mereka sebagai Anim-Ha atau
manusia sejati, karena mereka memiliki identitas tubuh yang tegap dan kuat
sehingga menjadikannya terkenal akan keperkasaannya, maksud keperkasaan disini
bukan tanda kutip lho ya. Salah satu bukti keperkasaan mereka adalah mereka
dapat membuat bedengan atau wambadla hanya menggunakan kayu. Bedengan atau wambadla digunakan sebagai
tempat penampungan air sehingga mereka dapat menggunakan air secara tepat untuk
bercocok tanam seperti ubi-ubian, pisang, atau terlebih wati. Wati adalah tanaman yang sangat kramat bagi suku Marind
karena sering digunakan ketika upacara penyerahan tanah, upacara perkawinan,
dan kematian. Mereka memang sering melakukan kegiatan pertanian namun itu
selalu berpindah-pindah hal itu bukan tanpa sebab karena terkadang daratan bisa
berubah menjadi rawa namun bisa menjadi sekering gunung pasir ketika musim
kemarau datang. Suku Marind sangat menyatu dengan alam karena bagi mereka alam
adalah dasar bagi kehidupan mereka sehingga menjaga kelestarian alam sangat
penting bagi kehidupan suku asli tanah Merauke ini.
Namun sekarang-sekarang ini suku
Marind mulai tersentuh oleh pembangunan, salah satu pembangunan yang sedang
berjalan misalnya proyek nasional MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy
Estate) yang diresmikan pada tahun 2010 oleh Menteri Pertanian pada zaman itu.
Proyek ini di canangkan sebagai reaksi atas krisis ekonomi global pada tahun
2008 yang membuat pemerintah ingin membangun ketahanan pangan nasional dengan
memanfaatkan daerah Indonesia Timur melalui proyek ini. Sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Merauke, menciptakan lapangan kerja dan
kesempatan berusaha, serta mempercepat pemerataan pembangunan di Kawasan
Indonesia Timur(Sugiarto, 2016).
Program ini mengalokasikan tanah
sekitar dua juta hektare di Merauke yang dikelola oleh kurang lebih 46 investor. Ketika ditanya siapa pemilik
tanah di Merauke? Jawabannya adalah orang Marind. Bagaimana nasib mereka yang
memiliki tanah tersebut menjalani kehidupan baru mereka. Pemerintah menganggap
tanah seluas dua juta hektare tersebut sebagai lahan tidur, tidak produktif dan
melihatnya sebagai lahan cadangan untuk program ini. Pada realitanya lahan
sebesar itu tidaklah lahan yang menganggur namun lahan tersebut dijadikan suku
Marind sebagai salah satu cara untuk tetap hidup dan bersatu dengan alam.
Jika kita lihat di Kota yang
berlalu lalang memasuki gedung perkantoran dan toko jarang sekali kita lihat
saudara-saudara kita yang berambut ikal dan berkulit hitam namun ketika senja
mulai tiba para pedagang berjualan pinang, sirih dan kapur yang bertebarang di
pinggir jalan barulah saudara-saudara kita keluar untuk berbelanja membeli
pinang(Savitri, 2013) Mereka yang tinggal diperkotaan lebih didominasi
oleh orang-orang transmigran dari pulau Jawa namun mereka para penduduk asli
lebih banyak kita temui di pedalaman-pedalaman hutan. Apakah ini yang namanya
pembangunan? Menghilangkan hak-hak kaum pribumi demi kepentingan para
transmigran. Suku Marind merasakan seperti “asing” dengan kampung halamannya
sendiri, mereka seperti dibodohi ditanahnya sendiri dan menyediakan tanah bagi
para transmigran tersebut. Apakah ini yang namanya pembangunan? Bukankah bangsa
kita sendiri sudah pernah merasakan bagaimana rasa tidak enaknya dijajah di
tanah sendiri? Tidak enak rasanya.
Disini penulis tidak menyalahkan
para transmigran yang datang ke tanah Merauke namun setidaknya mereka lebih
peduli terhadap suku pribumi yang telah lama dan tinggal ditanah tersebut
karena ditanah tersebutlah banyak sekali sejarah yang terukir dan bagaimana
budaya yang terbangun disana dari lama sekali namun tertindas begitu saja oleh
pembangunan yang menawarkan kehidupan yang lebih baik tetapi malah mengasingkan
orang-orang yang memiliki tanah-tanah itu.
Ketika pemberadaban, diikuti oleh modernisasi, dibayangkan sebagai cara satu-satunya menuju pencerahan, maka dua kata kunci selalu dijadikan jalan untuk keluar dari kegelapan, yakni pembangunan dan kemajuan. Tetapi, ke mana arah kemajuan? Maju merayakan kehidupan atau mundur membentur matinya kemanusiaan?
Mengutip dari buku “Korporasi dan Politik Perampasan Tanah”.
Kurang lebihnya tulisan ini
penulis akui, karena kesalahan ada didalam diri penulis dan kebenaran hanya
milik Allah SWT.
Sekian. Wassalamualaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
DAFTAR PUSTAKA
INDONESIAKAYA.
(2013). Merauke, Kota Cantik di Ujung Timur Indonesia. In). Indonesia Kaya.
Letsoin, Y. H. A. (2013). Suku Asli Tanah Papua : Marind. In).
Savitri, L. A. (2013). Korporasi
dan Politik Perampasan Tanah.
Sugiarto, D. I. (2016). MIFEE Adalah Bencana Untuk Masyarakat Adat
Merauke, Pangan dan Energi. In). http://www.wenaskobogau.com/2016/02/mifee-adalah-bencana-untuk-masyarakat.html.
Wikipedia. (2016). Suku Marind. In).