Kamis, 22 Desember 2016

Menjadi Asing di Tanah Sendiri

Suku Marind
Indonesia dikenal dengan negara kepulauan. Ribuan pulau terhampar di negeri ini, dengan adanya banyak pulau tersebut membuat Indonesia memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam yang terdiri dari beberapa suku seperti Suku Aceh yang berada di sebelah Timur Indonesia yang terkenal akan senjata Rencongnya lalu ada Suku Toraja yang terkenal dengan rumah adat Tongkonan, dan masih banyak kebudayaan lain dari ribuan suku di Indonesia.

Jika kita mengingat lagi sebuah lagu “Dari Sabang sampai Merauke” maka kita akan mendengar bahwa betapa besarnya negeri ini, Jika Sabang berada di sebelah barat Indonesia berarti Merauke berada di sebelah Timur Indonesia. Nama Merauke sendiri berasal dari sebuah cerita dimana pada saat bangsa Belanda datang ke wilayah Merauke, tepatnya di sungai Maro. Orang-orang Belanda tersebut bertanya pada salah satu suku asli Merauke (Suku Marind) tentang nama wilayah ini, Karena suku tersebut tak mengerti bahasa Belanda ataupun Indonesia, mereka mengatakan bahwa daerah tersebut berada di sungai Maro yang dalam bahasa Marind berbunyi “Maro Ka Ehe” yang sekarang ini menjadi Merauke.

Salah satu yang menjadi ketertarikan penulis disini tentang keberadaan Suku Marind atau Marind-Anim yang merupakan salah satu suku dari ribuan suku yang berada di Indonesia. Suku Marind hidup di selatan dari bagian bawah sungai Digul, timur dari Pulau Yos Sudarso, terutama di barat Sungai Maro yang merupakan area kecil melewati Maro di bagian bawahnya, termasuk Merauke(Wikipedia, 2016). Tidak banyak orang Indonesia sendiri yang mengetahui keberadaan suku ini, penulis mengetahui suku ini setelah membaca beberapa artikel dan buku.Banyak orang yang salah kaprah tentang Marind dan Malind, mereka mengira kedua suku ini sama padahal “Malind itu bukan Marind,” kata salah satu tetua suku Marind(Letsoin, 2013), Bagaimana kedua suku ini bisa berbeda? Suku Marind adalah hasil kawin campur dari orang-orang Suku Malind dengan orang yang berada di luar suku mereka, sehingga sebelum adanya suku Marind telah ada suku Malind terlebih dahulu namun sekarang ini sudah susah untuk mencari Suku Malind asli karena sudah banyak yang menikah dengan orang yang di luar suku mereka.

Manusia Marind sering menyebut diri mereka sebagai Anim-Ha atau manusia sejati, karena mereka memiliki identitas tubuh yang tegap dan kuat sehingga menjadikannya terkenal akan keperkasaannya, maksud keperkasaan disini bukan tanda kutip lho ya. Salah satu bukti keperkasaan mereka adalah mereka dapat membuat bedengan atau wambadla hanya menggunakan kayu. Bedengan atau wambadla digunakan sebagai tempat penampungan air sehingga mereka dapat menggunakan air secara tepat untuk bercocok tanam seperti ubi-ubian, pisang, atau terlebih wati. Wati adalah tanaman yang sangat kramat bagi suku Marind karena sering digunakan ketika upacara penyerahan tanah, upacara perkawinan, dan kematian. Mereka memang sering melakukan kegiatan pertanian namun itu selalu berpindah-pindah hal itu bukan tanpa sebab karena terkadang daratan bisa berubah menjadi rawa namun bisa menjadi sekering gunung pasir ketika musim kemarau datang. Suku Marind sangat menyatu dengan alam karena bagi mereka alam adalah dasar bagi kehidupan mereka sehingga menjaga kelestarian alam sangat penting bagi kehidupan suku asli tanah Merauke ini.

Namun sekarang-sekarang ini suku Marind mulai tersentuh oleh pembangunan, salah satu pembangunan yang sedang berjalan misalnya proyek nasional MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) yang diresmikan pada tahun 2010 oleh Menteri Pertanian pada zaman itu. Proyek ini di canangkan sebagai reaksi atas krisis ekonomi global pada tahun 2008 yang membuat pemerintah ingin membangun ketahanan pangan nasional dengan memanfaatkan daerah Indonesia Timur melalui proyek ini. Sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Merauke, menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta mempercepat pemerataan pembangunan di Kawasan Indonesia Timur(Sugiarto, 2016).

Program ini mengalokasikan tanah sekitar dua juta hektare di Merauke yang dikelola oleh kurang lebih  46 investor. Ketika ditanya siapa pemilik tanah di Merauke? Jawabannya adalah orang Marind. Bagaimana nasib mereka yang memiliki tanah tersebut menjalani kehidupan baru mereka. Pemerintah menganggap tanah seluas dua juta hektare tersebut sebagai lahan tidur, tidak produktif dan melihatnya sebagai lahan cadangan untuk program ini. Pada realitanya lahan sebesar itu tidaklah lahan yang menganggur namun lahan tersebut dijadikan suku Marind sebagai salah satu cara untuk tetap hidup dan bersatu dengan alam.

Jika kita lihat di Kota yang berlalu lalang memasuki gedung perkantoran dan toko jarang sekali kita lihat saudara-saudara kita yang berambut ikal dan berkulit hitam namun ketika senja mulai tiba para pedagang berjualan pinang, sirih dan kapur yang bertebarang di pinggir jalan barulah saudara-saudara kita keluar untuk berbelanja membeli pinang(Savitri, 2013) Mereka yang tinggal diperkotaan lebih didominasi oleh orang-orang transmigran dari pulau Jawa namun mereka para penduduk asli lebih banyak kita temui di pedalaman-pedalaman hutan. Apakah ini yang namanya pembangunan? Menghilangkan hak-hak kaum pribumi demi kepentingan para transmigran. Suku Marind merasakan seperti “asing” dengan kampung halamannya sendiri, mereka seperti dibodohi ditanahnya sendiri dan menyediakan tanah bagi para transmigran tersebut. Apakah ini yang namanya pembangunan? Bukankah bangsa kita sendiri sudah pernah merasakan bagaimana rasa tidak enaknya dijajah di tanah sendiri? Tidak enak rasanya.

Disini penulis tidak menyalahkan para transmigran yang datang ke tanah Merauke namun setidaknya mereka lebih peduli terhadap suku pribumi yang telah lama dan tinggal ditanah tersebut karena ditanah tersebutlah banyak sekali sejarah yang terukir dan bagaimana budaya yang terbangun disana dari lama sekali namun tertindas begitu saja oleh pembangunan yang menawarkan kehidupan yang lebih baik tetapi malah mengasingkan orang-orang yang memiliki tanah-tanah itu.

Ketika pemberadaban, diikuti oleh modernisasi, dibayangkan sebagai cara satu-satunya menuju pencerahan, maka dua kata kunci selalu dijadikan jalan untuk keluar dari kegelapan, yakni pembangunan dan kemajuan. Tetapi, ke mana arah kemajuan? Maju merayakan kehidupan atau mundur membentur matinya kemanusiaan?

Mengutip dari buku “Korporasi dan Politik Perampasan Tanah”.

Kurang lebihnya tulisan ini penulis akui, karena kesalahan ada didalam diri penulis dan kebenaran hanya milik Allah SWT.

Sekian. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

DAFTAR PUSTAKA
INDONESIAKAYA. (2013). Merauke, Kota Cantik di Ujung Timur Indonesia. In). Indonesia Kaya.
Letsoin, Y. H. A. (2013). Suku Asli Tanah Papua : Marind. In).
Savitri, L. A. (2013). Korporasi dan Politik Perampasan Tanah.
Sugiarto, D. I. (2016). MIFEE Adalah Bencana Untuk Masyarakat Adat Merauke, Pangan dan Energi. In). http://www.wenaskobogau.com/2016/02/mifee-adalah-bencana-untuk-masyarakat.html.
Wikipedia. (2016). Suku Marind. In).